kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.874.000   -21.000   -1,11%
  • USD/IDR 16.369   38,00   0,23%
  • IDX 7.176   -23,15   -0,32%
  • KOMPAS100 1.044   -7,03   -0,67%
  • LQ45 815   -3,41   -0,42%
  • ISSI 226   -0,18   -0,08%
  • IDX30 426   -2,13   -0,50%
  • IDXHIDIV20 508   0,07   0,01%
  • IDX80 118   -0,55   -0,47%
  • IDXV30 121   0,13   0,11%
  • IDXQ30 139   -0,23   -0,17%

ESDM kaji ulang kebijakan pembangunan smelter


Selasa, 06 Oktober 2015 / 19:26 WIB
ESDM kaji ulang kebijakan pembangunan smelter


Reporter: Febrina Ratna Iskana, Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto

​JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mempertimbangkan kembali kebijakan pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter) bagi pelaku usaha pertambangan. Meski demikian, ESDM tetap mensyaratkan ekspor mineral tidak dalam bentuk mentah. 

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, peningkatan pembangunan smelter harus dihitung secara ekonomis. Pasalnya investasi dibidang smelter terlalu mahal, apabila pembangunan smelter untuk meningkatkan nilai tambah produk konsentrat tambang hasilnya minim.

"Jadi, bukan begitu. Bukannya tidak harus bangun smelter. Artinya begini loh. Peningkatan pembangunan smelter harus dihitung secara ekonomis. Memberikan manfaat yang besar. Kalau loncatannya kecil, ya pemerintah harus mempertimbangkan seperti apa," terangnya kepada KONTAN, Selasa (6/10).

Dia menyatakan yang jadi peran penting bukannya tiap perusahaan harus membangun smelter. Namun pada saat mengekspor hasil tambang harus sudah dalam bentuk mineral jadi. "Kalau perusahaan kan tidak harus (bangun smelter). Kan pada saat mengekspor sudah dalam bentuk tertentu itu harus. Itu telah ditetapkan oleh pemerintah," tandasnya.

Hanya Gatot belum bisa memberikan kepastian apakah wacana ini akan dia usulkan untuk jadi kebijakan baru, alias untuk merevisi kebijakan yang sudah berlaku.

Terkait dengan itu, Direktur Center For Indonesia Resources Strategic Studies (Cirus), Budi Santoso mengatakan bahwa pembangunan smelter tidak hanya dilihat dari selisih harga tetapi berkaitan dengan aspek kemandirian dan kebutuhan dalam negeri.

"Misalnya smelter tembaga, jangan cuma dilihat sebagai tembaganya tetapi juga kaitan dengan produk bahan tembaga lain (plat, kawat dan pipa) dan itu nilai tambah," tegasnya kepada KONTAN.

Ia menilai, bahwa pemikiran tersebut sangat sempit apabila pemerintah cuma melihat hanya tembaganya saja. Kebutuhan tembaga nasional sangat besar dan seharusnya pemerintah melihat hal yang lebih besar.

Ia mencurigai bahwa pengkajian ulang smelter ini berkaitan dengan smelter PT Freeport Indonesia. Karena nilai tambahnya cuma 5%-6%. "Pemerintah cukup mengecewakan karena sepertinya sangat "mengikuti" Freeport," terangnya.

Ia juga bilang, mengenai pembangunan smelter, pemerintah tidak perlu memiliki saham pada smelter karena pemerintah masih bisa melakukan kontrol untuk melindungi kepentingan dalam negeri. "Memiliki saham kalau hanya minoritas juga enggak cukup untuk memerankan pengaruh. Kalau hanya mengharapkan dividen juga tidak terlalu besar karena pemerintah sudah menikmati pajak," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute, Irwandi Arif menilai, pemerintah harusnya konsisten terhadap pembangunan smelter. Pasalnya, smelter sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan nilai tambah.

"Kita harus tetap konsisten pada kebijakan nilai tambah bukan tidak memerlukan untuk tidak bangun smelter," terangnya.

Meskipun begitu, Irwandi bilang, pemerintah harus membuat rencana strategis untuk Industri agar nilai tambah pada perusahaan pembangun smelter bisa menjadi pegangan bersama. "Misalnya prinsip keseimbangan jadi salah satu dasar, kemudian jumlah cadangan harus lebih besar dari kebutuhan smelter," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×