Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh pembicaraan soal perilaku pengunjung mal yang disebut "rojali" dan "rohana".
Istilah ini menjadi viral karena dinilai mewakili kebiasaan baru masyarakat saat mengunjungi pusat perbelanjaan.
"Rojali" adalah singkatan dari rombongan jarang beli, sementara "rohana" merujuk pada rombongan hanya nanya.
Keduanya menggambarkan kelompok orang yang datang ke mal hanya untuk berjalan-jalan, melihat-lihat, atau sekadar bertanya, tanpa benar-benar melakukan transaksi pembelian.
Fenomena ini mencuat setelah pandemi Covid-19. Meski jumlah pengunjung meningkat, para pelaku usaha ritel mencatat bahwa tingkat penjualan tidak sebanding dengan ramainya lalu lintas pengunjung.
Lantas, apa yang menyebabkan fenomena "rojali" dan "rohana" ini marak? Apakah ada solusinya? Akankah fenomena "rojali" dan "rohana" terus terjadi?
Analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan fenomena ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat.
"Saya pikir rojali-rohana ini nanti akan dengan sendirinya mulai hilang, dan (masyarakat) mulai berbelanja, saat kemampuan daya beli mereka naik," ujar Ajib, dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/7/2025).
Baca Juga: Fenomena Rojali Menyebar ke Kalangan Menengah Atas, Apa Penyebabnya?
Selain itu, fenomena lipstick index juga menjadi bagian dari pola konsumsi masyarakat pasca-pandemi. Lipstick index merujuk pada kecenderungan konsumen untuk membeli barang mewah dengan harga terjangkau.
Adapun barang yang dibeli seperti tiket konser atau pertandingan olahraga, meski konsumsi barang-barang umum menurun.
"Fenomena lipstick index adalah bagaimana masyarakat sekarang itu melakukan konsumsi untuk barang-barang yang ekstra tersier, tapi untuk barang-barang umumnya mereka justru melakukan seleksi konsumsi," jelas Ajib.
Bagaimana fakta lapangan terkait fenomena ini?
Arlo, seorang penjaga toko optik di Grand Indonesia, Jakarta, mengaku sering mendapati pengunjung mal yang hanya melihat-lihat. Di pusat-pusat perbelanjaan, fenomena rojali semakin terasa.
Banyak pengunjung datang untuk sekadar berjalan-jalan, makan, atau sekadar melihat-lihat tanpa niat membeli barang.
"Sekarang tuh anak-anak muda ke mal cuma jalan-jalan, kalau enggak makan. Sedangkan beli ke tempat retail, itu jarang banget," ujar Arlo, dikutip dari Kompas.com, Minggu (27/7/2025).
Perubahan ini semakin terlihat dengan adanya konsep toko yang lebih terbuka, yang justru memudahkan pengunjung hanya untuk melihat-lihat tanpa membeli. Bahkan beberapa di antaranya memanfaatkannya untuk membuat konten media sosial.
Baca Juga: Begini Kata Petinggi Unilever Indonesia (UNVR) soal Fenomena Rojali
Selain itu, e-commerce yang menawarkan harga lebih murah dan diskon besar menjadi pesaing kuat bagi toko fisik.
"E-commerce jauh lebih murah. Jadi kita bersaing sama e-commerce," kata Arlo.
Hal ini berimbas pada penurunan omzet, di mana Arlo mengungkapkan bahwa omzet toko turun dari 80 persen menjadi sekitar 50-60 persen saja.
Apakah fenomena ini sinyal kemiskinan semakin meningkat?
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono berpendapat bahwa fenomena rojali adalah sinyal sosial penting yang harus diperhatikan dan tidak melulu karena kemiskinan.
Fenomena rojali tidak hanya disebabkan oleh euforia pasca-pandemi, tetapi juga terkait dengan kondisi ekonomi yang sedang sulit.
"Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial," kata Ateng.
Menurut Ateng, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan bahwa kelompok pengeluaran atas cenderung menahan konsumsi.
Meskipun ini tidak langsung terkait dengan angka kemiskinan, kelompok masyarakat dengan daya beli lebih rendah mulai memilih untuk mengutamakan kebutuhan dasar.
"Ada shifting prioritas masyarakat di wilayah perkotaan," ungkap Ateng.
Apa solusi dari fenomena ini?
Untuk mengatasi dampak dari fenomena rojali, pemerintah dan pelaku ritel berupaya mendorong kembali konsumsi masyarakat.
Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, berpendapat bahwa program insentif seperti diskon besar dapat membantu memicu daya beli.
"Kami pikir konsep itu lebih baik dibandingkan kosong sama sekali, nah sekarang bagaimana pemerintah bisa membantu boost untuk insentif daya beli dan demand ini. Ini yang mungkin dibantu dengan diskon-diskon dan lain-lain," kata Shinta, dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/7/2025).
Baca Juga: Antara Deal Tarif Donald Trump Sampai Fenomena Rojali dan Rohana
Dengan adanya Hari Belanja Nasional dan berbagai program diskon lainnya, diharapkan pengunjung bisa kembali berbelanja di mal. Pemerintah juga turut mendorong industri kecil dan menengah (IKM) untuk beradaptasi dengan tren online.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita menyatakan bahwa itu merupakan upaya mendorong konsumsi.
"Kalau bahasa kita sih, mencekokin lah, mencekokin masyarakat," terang Reni.
Pendapat itu merujuk pada upaya mendorong konsumsi melalui platform daring seperti TikTok Shop dan Shopee.
Apa dampak jangka panjang fenomena ini?
Ajib Hamdani optimis fenomena rojali dan rohana akan bertransformasi menjadi robeli (rombongan beli) ketika daya beli masyarakat mulai pulih.
"Saya pikir rojali-rohana ini nanti akan dengan sendirinya mulai hilang, dan (masyarakat) mulai berbelanja," ujarnya.
Namun, perubahan ini diperkirakan membutuhkan waktu, dan pemulihan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi kunci. Fenomena ini menunjukkan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi, terutama daya beli masyarakat.
Tonton: Daya Beli Lesu, Pusat Belanja Ramai Diserbu Rojali dan Rohani
Jika pemerintah dan sektor ritel dapat beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi ini, maka sektor ekonomi dapat bangkit kembali. Diharapkan pengunjung mal bisa berbelanja lebih aktif, bukan hanya sekadar jalan-jalan atau makan.
(Sumber: Kompas.com/Dian Erika Nugraheny, Dian Erika Nugrahenny, Lidia Pratama Febrian, Agustinus Rangga Respati | Editor: Sakina Rakhma Diah Setiawan, Erlangga Djumena, Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Marak Fenomena "Rojali" dan "Rohana", Bantuan Pemerintah Jadi Solusi?"
Selanjutnya: IHSG Rawan Terkoreksi pada Senin (4/8/2025), Intip Rekomendasi Saham Berikut Ini
Menarik Dibaca: Cara Menurunkan Asam Urat pada Lansia, Lebih Aman dan Mudah dilakukan di Rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News