Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Film Mata Tertutup, sebuah film Indonesia yang paling tegas menyuarakan sikap anti fundamentalisme agama, akan beredar di jaringan Bioskop 21/XXI mulai Kamis (15/3) besok.
Film karya terbaru garapan Sutradara Garin Nugroho ini, akan menyapa penggemar film di tanah air setelah melakukan "world premiere" di Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR) di Belanda, pada akhir Januari lalu dan diputar dalam peringatan Hari HAM Se-Dunia, pada awal Desember lalu di Pusat Kebudayaan Erasmus Huis oleh Kedutaan Belanda.
"Penayangan film Mata Tertutup ini, dilakukan dua minggu lebih awal dari pemutaran di Museum Nasional Singapura yang akan dilakukan tanggal 31 Maret mendatang. Kami bersyukur film ini mendapat sambutan menggembirakan dari penikmat film di mancanegera. Kami berharap mendapatkan apresiasi serupa dari masyarakat Indonesia," ujar Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif MAARIF Institute yang menjadi produser dalam produksi film ini di Jakarta, Rabu (14/3/2012).
Menurut Fajar, tidak semua bioskop akan memutar film Mata Tertutup. Film ini hanya diputar di 20 bioskop dengan 100 kali layar pemutaran. Diantaranya film ini diputar di bioskop di Jakarta seperti di Plaza Senayan, Blok M Square, Metropole XXI, Pondok Indah I.
Selain di Jakarta, film Mata Tertutup juga diputar di Tangerang, Bekasi, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Makasar, Pekan Baru, Batam, Medan, Malang, Bogor dan Solo. Film Mata Tertutup, menurut Fajar, mengangkat persoalan fundamental dalam kehidupan keindonesiaan hari ini, yaitu nasionalisme di kalangan generasi muda yang kian terkikis.
Film yang diangkat dari hasil penelitian MAARIF Institute ini, menceritakan remaja yang menjadi korban Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Islamiyah, dan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya.
"Film ini ingin menyadarkan bangsa ini bahwa persoalan negara dan agama tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Anak muda harus cerdas dalam memahami realitas. Jika tidak, mereka bisa menggali kubur masa depannya bahkan atas nama agama," ujar Buya Syafii Ma'arif saat dihubungi.
Bagi Garin sendiri, ini merupakan film yang tidak biasa dengan proses produksi tidak biasa. "Kami ingin melihat masa depan Pancasila dan Kebhinekaan Indonesia dengan menyodorkan fakta-fakta yang justru mencemaskan," ujarnya. (Imam Prihadiyoko|Robert Adhi Ksp/Kompas.com).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News