Reporter: Sri Sayekti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam paparan Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba yang digelar Sabtu (8/3/2025), Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara.
Salah satunya, pemerintah mengusulkan tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14%—19% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA), yang sebelumnya hanya sebesar 10%. Angka kenaikan ini adalah sebesar 40%-90% dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.
Selain itu, tarif progresif nikel matte (bahan baku baterai) juga diusulkan naik 4,5%—6,5% menyesuaikan HMA sementara windfall profit dihapus. Sebelumnya berlaku single tariff 2% dan windfall profit bertambah 1%.
Angka kenaikan ini adalah sebesar 150%-200% dari single tarif bijih nikel yang berlaku sebelumnya.
Baca Juga: Genjot Penerimaan, Pemerintah Bakal Revisi Tarif PNBP Batubara Hingga Nikel
Untuk menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia, Alexander Barus, Ketua Umum FINI, yang mewakili seluruh anggota FINI, dengan tegas menolak rencana kenaikan royalti pada saat ini dengan pertimbangan:
1. Kondisi Ekonomi Global Tak Menentu: Saat ini, pertumbuhan ekonomi global tertekan akibat perang berkepanjangan, perang dagang dan penurunan permintaan produk nikel dunia (akibat produk substitusi Lithium Ferro-Phospahate), yang menyebabkan harga nikel mencapai level terendah sejak tahun 2020.
2. Permintaan Pasar China Melemah: Permintaan dari China lebih rendah dari yang diharapkan.
Hilirisasi nikel sangat bergantung pada industri baja dunia, yang saat ini didominasi oleh China yang sedang mengalami pelemahan ekonomi. Selain itu, dampak meningkatnya ketegangan geopolitik antara Amerika dan China (penerapan tarif tinggi) dapat menghambat pertumbuhan industri kendaraan listrik.
3. Kebijakan Pemerintah Menaikkan Biaya: Beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) yang signifikan, penggunaan Biodiesel 40 yang lebih mahal, kewajiban retensi DHE (Devisa Hasil Ekspor), dan semakin sulitnya mendapat pasokan bijih nikel telah meningkatkan biaya produksi/operasional perusahaan tambang maupun perusahaan pengolahan/pemurnian nikel yang ada di Indonesia.
4. Hilirisasi Diperlukan untuk Menciptakan Lapangan Kerja: Kebijakan pemerintah terkait hilirisasi nikel menciptakan lapangan kerja sebanyak 350.000 orang dan berhasil menurunkan kesenjangan pendapatan (terutama di Indonesia Timur).
5. Dampak Global Minimum Tax Menghapus Tax Holiday: Hal ini membebani keuangan industri nikel sebagai industri pionir. Dampaknya, arus kas ketat, pembayaran pinjaman menurun, berisiko bagi perbankan, serta mengancam lapangan kerja (PHK) di sektor pertambangan dan pengolahan nikel .
6. Kontribusi PNBP Telah Mencapai Target: Sub sektor mineral dan batubara telah memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional, dengan pencapaian penerimaan PNBP yang selalu melampaui target, di mana tahun 2020 (110,25%), 2021 (193,03%), 2022 (180,91%), 2023 (118,41%) dan 2024 (125,84%). Oleh karena itu, kami berpendapat belum waktunya saat ini untuk menaikkan tarif royalti terutama nikel dan turunan hilirasasinya.
Seluruh perusahaan tambang dan pengelolaan dan/atau pemurnian nikel di Indonesia tengah menghadapi masa sulit selama 2 tahun terakhir akibat faktor- faktor yang telah dijelaskan di atas. PHK sudah diambang mata. Meskipun demikian, FINI selaku mitra Pemerintah selalu terbuka untuk berdialog dan berdiskusi sehingga program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel dapat melewati masa sulit dan mempercepat hilirisasi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Revisi Tarif PNBP Batubara Hingga Nikel, Ini Penyebabnya
Selanjutnya: Pelindo Siap Sukseskan Mudik Gratis Lebaran 2025
Menarik Dibaca: Gandeng Rizky Ridho, Casio Indonesia Kampanyekan Limitless Lewat Rangkaian GShock
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News