Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) diprediksi akan memberikan dampak jangka panjang terhadap ekspor produk turunan nikel Indonesia yang digunakan dalam komponen baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) atau Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa untuk memenangkan perang dagang melawan China, Trump kemungkinan besar akan mendorong investasi dalam negeri, termasuk pada industri otomotif konvensional.
Baca Juga: Menilik Kemenangan Donald Trump dan Dampaknya Terhadap Industri Nikel Indonesia
“EV diperkirakan akan mengganggu industri otomotif konvensional di AS. Sehingga, ada kemungkinan pertumbuhan EV di AS akan melambat,” ujar Hendra saat dihubungi Kontan, Kamis (14/11).
Dalam beberapa kampanyenya, Trump juga menyampaikan rencananya untuk menetapkan tarif impor yang lebih tinggi, terutama untuk impor dari China, termasuk produk EV.
“Tarif impor ini diperkirakan mencapai 60%, dibandingkan negara lain yang sekitar 20%. Maka ada kemungkinan pertumbuhan suplai baterai EV ke AS akan melemah,” tambahnya.
Penurunan suplai baterai EV dari China ke AS dinilai akan berdampak pada penyerapan produk turunan nikel Indonesia dalam komponen baterai EV.
Permintaan nikel terbesar masih berasal dari China, dan dengan adanya tarif impor AS, pasar China di AS diperkirakan akan menyempit.
Baca Juga: Harga Tembaga Sentuh Level Terendah 2 Bulan Rabu (13/11), Terseret Sentimen Ini
Meski demikian, Hendra mengatakan bahwa Indonesia masih bisa berharap pada investasi pembangunan pabrik baterai di dalam negeri AS.
“Namun, jika pembangunan pabrik baterai di AS terwujud, maka kebutuhan bahan baku baterai EV, seperti katoda berbasis nikel, diperkirakan akan meningkat,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengingatkan agar Indonesia tidak hanya terpaku pada pengelolaan nikel untuk EV.
Menurut Bhima, nikel juga dibutuhkan untuk penyimpanan energi baru terbarukan, seperti turbin angin dan panel surya.
“Diversifikasi ke Eropa, bahkan ke ASEAN seperti Vietnam yang juga sedang gencar melakukan transisi energi, bisa menjadi peluang. Di pasar ASEAN, potensi permintaan masih sangat besar,” katanya.
Baca Juga: Harga Tembaga Turun ke Level Terendah 2 Bulan pada Perdagangan Selasa (12/11)
Selain Vietnam, Bhima menambahkan bahwa Malaysia saat ini juga tengah membangun industri semikonduktor, yang membutuhkan energi besar sehingga membutuhkan baterai penyimpanan dari sumber energi terbarukan.
“Jadi, pasar ASEAN masih menawarkan peluang untuk membentuk rantai pasok, di tengah perang dagang AS-China dan sikap Trump yang cenderung anti perubahan iklim,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News