kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.693.000   3.000   0,18%
  • USD/IDR 16.345   -45,00   -0,28%
  • IDX 6.598   -37,79   -0,57%
  • KOMPAS100 949   -14,20   -1,47%
  • LQ45 740   -10,51   -1,40%
  • ISSI 206   0,15   0,07%
  • IDX30 385   -5,43   -1,39%
  • IDXHIDIV20 462   -8,12   -1,73%
  • IDX80 108   -1,53   -1,40%
  • IDXV30 112   -0,99   -0,88%
  • IDXQ30 126   -1,85   -1,44%

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia(APNI) Khawatirkan Rencana Kenaikan Royalti Minerba


Senin, 10 Maret 2025 / 19:50 WIB
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia(APNI) Khawatirkan Rencana Kenaikan Royalti Minerba
ILUSTRASI. Smelter feronikel Antam.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan kekhawatirannya terhadap rencana kenaikan tarif royalti nikel yang dinilai akan memberatkan industri pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, perubahan tarif royalti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 dapat semakin menekan pelaku usaha, terutama di tengah berbagai tantangan ekonomi dan regulasi yang sudah ada.

Menurut Meidy, kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi biaya operasional tinggi akibat berbagai faktor, seperti kenaikan harga biosolar (B40), penerapan UMR minimum 6,5%, serta kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Baca Juga: Rencana Kenaikan Royalti Nikel hingga 15% Picu Kekhawatiran Pengusaha Tambang

“Selain itu, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan 100% hasil ekspor ditahan di dalam negeri selama 12 bulan turut memperketat arus kas perusahaan tambang dan smelter,” kata Meidy kepada Kontan, Senin (10/3).

APNI juga menyoroti risiko keuangan akibat penerapan Global Minimum Tax, terutama bagi smelter yang baru beroperasi dalam dua hingga tiga tahun terakhir dan masih bergantung pada fasilitas Tax Holiday.

Meidy menjelaskan, ketergantungan industri nikel pada fluktuasi harga global juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan.

Saat ini, harga nikel cenderung mengalami penurunan, yang semakin meningkatkan risiko bagi keberlanjutan bisnis tambang dan pengolahan nikel di Indonesia.

Baca Juga: Rencana Kenaikan Tarif Royalti Minerba Bakal Tambah Beban Pengusaha Tambang

Dari sisi daya saing investasi, Meidy membandingkan tarif royalti nikel Indonesia dengan negara lain. Di Indonesia, tarif royalti bijih nikel (ore) berkisar antara 14–19%, sementara produk olahan dikenakan 5–7%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Filipina (5–7% untuk ore, 2% untuk produk olahan), Australia (5–7,5% untuk ore, 2–5% untuk produk olahan), dan Brasil (2–5% untuk ore, 1–3% untuk produk olahan).

“Jika tarif royalti dinaikkan tanpa mempertimbangkan berbagai faktor ini, maka daya saing Indonesia dalam menarik investasi di sektor hilirisasi nikel bisa terancam,” kata Meidy.

APNI berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar tidak menghambat pertumbuhan industri hilirisasi yang menjadi salah satu motor utama ekonomi Indonesia.

Baca Juga: Beda Nasib Nikel dan Batubara dalam Penetapan HBA dan HMA Sebagai Patokan Harga

Selanjutnya: Jurus Maucash Antisipasi Peningkatan Kredit Macet Selama Ramadan

Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (11/3): Cerah hingga Hujan Berawan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×