kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gagap digital, 18 juta pekerja Indonesia terancam kehilangan pekerjaan di tahun 2030


Rabu, 23 Oktober 2019 / 19:16 WIB
Gagap digital, 18 juta pekerja Indonesia terancam kehilangan pekerjaan di tahun 2030
ILUSTRASI. Ilustrasi keuangan digital


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) menjadi penting dalam peralihan menuju zaman digitalisasi. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan Tansmigrasi 56% penduduk Indonesia akan kehilangan pekerjannya. Namun, semuanya akan tertolong karena era digitalisasi akan menciptakan lapangan kerja baru melalui inovasi dan kreativitas.

Era digitalisasi mengakibatkan berubahnya cara berpikir manusia, hidup, dan berhubungan satu dengan yang lain. Perubahan yang signifikan pada bidang teknologi, menyebabkan perubahan juga pada bidang lain seperti ekonomi, sosial, dan politik. Tentu hal ini juga akan mempengaruhi perubahan kebutuhan SDM, apalagi SDM adalah salah satu faktor keberhasilan dari era digital transformation.

Namun masih banyak SDM yang belum mampu menghadapinya. Terlebih bagi pekerja lama apalagi yang sudah tua, tentu akan butuh waktu agar bisa mengikuti perkembangan industri. Sebab di zaman Digitalisasi ini diperlukan keterampilan khusus dalam berhadapan dengan teknologi baru.

Baca Juga: Harapan perusahaan operator telekomunikasi terhadap menkominfo baru

Berdasarkan riset Mckinsey, guna mencapai sasaran tersebut, Indonesia membutuhkan 17 juta tenaga kerja yang “melek” digital, dengan komposisi 30% di industri manufaktur dan 70% di industri penunjangnya. Jika ini terealisasi, maka bukan tidak mungkin jika Indonesia bisa menambah pemasukan ekonomi hingga US$ 150 miliar.

Pelaku usaha atau perusahaan menjadi subjek yang paling penting dalam era digitalisi khususnya dalam upaya peningkatan kompetensi SDM. Langkah ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, yang menginginkan pembangunan nasional lewat pembangunan SDM yang berkualitas, seperti menjalankan program pendidikan dan pelatihan vokasi yang lebih masif.

Peran Human Resources Departemen (HRD) di setiap perusahaan harus menjadi yang terdepan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk menghadapi tantangan dari industri digitalisasi. Demikian mengemuka dalam diskusi tentang “Digital Economy Talent Gap and Workforce Challenges” yang diselenggarakan  Sinar Mas dan PT Oriente Mas Sejahtera (Finmas) di Sinar Mas land Plaza, Rabu (23/10).

Sylvano damanik, Vice Chairman Korn Ferry Hay Group Indonesia mengatakan, jika hal ini tidak dilakukan, maka akan terdampak kepada 18 juta pekerja atau US$ 442,6 miliar di Indonesia pada tahun 2030, hal ini terjadi di hampir seluruh negara.

Baca Juga: Gawat! Karena Tidak Ada Aturan, Polisi Sulit Berantas Fintech Ilegal premium

Doni Priliandi, CEO Happy5 menyebut kesalahan transformasi digital, bukan karena digital, tapi transformasi perilaku pekerja. Oleh karena itu peran pemimpin perusahaan atau CEO sangat diperlukan di perusahaannya, bukan hanya peran human resources. “Jadi kegagalan transformasi digital bukan karena digitalnya, tetapi orang-orangnya yang tidak bisa beradaptasi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (23/10)

Beberapa perusahaan juga mulai beralih ke dunia digital. Hal ini karena digitalisasi bisa dipandang sebagai peluang. Dua diantara perusahaan yang menyadari hal tersebut adalah PT Pegadaian dan Sinar Mas.  Pegadaian semisal, yang akan mengeluarkan produk-produk secara digital baik melalui aplikasi dan website.

“Kami akan masuk ke bisnis mikro untuk pinjaman Rp 25 juta ke bawah. Kami akan masuk ke digital lending. Ini merupakan cara kami menghadapi atau memanfaatkan digitalisasi,” ujar Edi Isdwiarto, Direktur SDM dan Hukum PT Pegadaian.

Sinas Mas juga melihat peluang di segmen tersebut,  Sinar Mas memanfaatkan era digitalisasi dengan berinovasi membangun startup financial technology melalui PT Oriente Mas Sejahtera atau Finmas yang gabungan dari perusahaan multinasional Oriente.

“Finmas adalah perusahaan fintech yang fokus peada kaum menengah ke bawah dan milenial dimana tahun ini Finmas memfokuskan peningkatan literasi keuangan di seluruh Indonesia,” kata Rainer Emanuel, Head of PR Finmas.

Baca Juga: Melek Digitalisasi, Upaya Koperasi Mengembangkan Potensi Diri

Dia mengatakan, geliat sektor fintech di Indonesia telah merambah ke berbagai sektor, seperti startup pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding), uang elektronik, dan lain-lain.

Fintech di Indonesia tercatat tumbuh signifikan hingga pertengahan tahun ini. Dari data Otoritas Jasa Keuangan, hingga Juli 2019, perusahaan fintech yang sudah terdaftar atau berizin mencapai 127 perusahaan, 8 diantaranya merupakan fintech syariah. Sebanyak 88 perusahaan didanai oleh perusahaan dalam negeri dan 39 didanai oleh asing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×