Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mematahkan kemungkinan terjadinya barter penghapusan bea keluar (BK) untuk kelapa sawit (crude palm oil/CPO) agar mendapat kemudahan impor beras dari India.
"Saya belum sikapi soal BK CPO. Saya rasa tidak bisa lakukan barter," ungkapnya, usai jumpa pers persiapan 2011 ASEAN Business and Investment, Rabu (9/11). Namun, dia mengatakan, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah menggiatkan negosiasi untuk mendapatkan persetujuan harga beras sesuai kebutuhan Indonesia.
Padahal, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh sempat mengutarakan persetujuannya tentang opsi barter penghilangan BK CPO dengan impor beras apabila dinilai menguntungkan.
Dia menyebut, kementerian itu memang mengaku belum menerima usulan rencana barter itu. Apalagi, pembahasan impor itu merupakan ranah pembahasan bisnis antarperusahaan (business to business). "Cuma kalaupun dibicarakan dan menguntungkan kita, kenapa tidak," ungkapnya.
Indonesia memang menerapkan kebijakan disinsentif untuk ekspor kelapa sawit. Kebijakan itu dilansir melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 128 tahun 2011 diarahkan untuk menimbulkan triliunan rupiah investasi baru.
PMK itu mengatur tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar sebagai perubahan atas PMK No 67/PMK.011/2010. PMK itu merupakan payung hukum pelaksanaan restrukturisasi bea keluar untuk kelapa sawit dan produk turunannya. Prinsipnya, tarif bea keluar produk hilir khususnya minyak goreng bakal diberlakukan lebih rendah ketimbang tarif yang diterapkan pada bahan bakunya yaitu kelapa sawit.
Selain itu, tarif bea keluar untuk minyak goreng curah dan kemasan (bermerek) ditetapkan pada tingkat yang cukup rendah. Lalu, produk hydrogenated, bungkil, dan PFAD sebagai bahan baku industri mendapatkan pengenaan bea keluar.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengutarakan, kebijakan itu digunakan untuk membendung ekspor kelapa sawit besar-besaran yang menyebabkan rendahnya utilisasi industri hilir.
Apalagi, dari total produksi kelapa sawit sebesar 23 juta ton, sekitar 13,5 juta ton langsung habis untuk kebutuhan ekspor. Sisanya untuk kepentingan industri hilir yang utilisasinya pun masih minim. Misalnya, minyak goreng 44% dan biodiesel 10%.
Sementara soal beras, India masih belum menyepakati harga yang ditawarkan Badan Urusan Logistik (Bulog). Kedua belah pihak masih membahas titik temu harga beras.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News