kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Global Energy Monitor: Terkendala corona, PLTU batubara bisa rugi US$ 13,1 miliar


Rabu, 25 Maret 2020 / 21:11 WIB
Global Energy Monitor: Terkendala corona, PLTU batubara bisa rugi US$ 13,1 miliar
ILUSTRASI. Pekerja mengatur timbunan sementara batubara sebagai bahan bakar pembangkit PLTU


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Corona menimbulkan efek gulir ke sejumlah sektor, tak terkecuali terhadap pengerjaan proyek kelistrikan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.

Global Energy Monitor (GEM) memprediksi, potensi kerugian investasi terhadap proyek PLTU di Indonesia bisa mencapai US$ 13,1 miliar atau sekitar Rp 209,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 16.000. Hitungan tersebut didapatkan dari 11 proyek pembangkit batubara yang pengerjaan dan operasionalnya terhambat pandemi Corona.

Hasil tersebut didapat dari model perhitungan kerugian investasi dengan mengacu pada rerata capital costs yang dirangkum oleh IEA (International Energy Agency). 

Baca Juga: Wabah corona meluas, bagaimana ekspansi bisnis United Tractors (UNTR)?

Secara global, GEM mengidentifikasi sebanyak 14 PLTU batubara yang berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara berpotensi mengalami kerugian investasi mencapai US$ 17,1 miliar.

Perhitungan proyeksi kerugian itu akibat capital outlays karena adanya gangguan tenaga kerja dan rantai pasokan akibat pandemi global Covid-19 yang mengakibatkan keterlambatan maupun penundaan proyek PLTU.

Kondisi tersebut menunjukkan tingkat kerentanan tinggi dari ekspansi PLTU batu bara global akibat pandemi, yang di saat bersamaan kondisi kelebihan kapasitas semakin menambah beban dalam menghadapi kondisi resesi.

Program Director Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa kondisi tersebut seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menyetop proyek-proyek pembangunan energi fosil PLTU batu bara. 
"Tidak hanya untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang, tapi utamanya untuk melindungi masyarakat. Pemerintah seharusnya memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat dan bukan membuatnya menjadi rentan," kata Ashov dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/3).

Prediksi ini muncul bersamaan dengan dirilisnya laporan Boom and Bust 2020: Tracking The Global Coal Plant Pipeline yang kelima. Laporan ini disusun oleh sejumlah lembaga yaitu Global Energy Monitor, Greenpeace International, the Sierra Club, dan Centre for Research on Energy and Clean Air.

Laporan ini menunjukkan terjadinya penurunan global kapasitas PLTU dalam status konstruksi (under construction) dan pembangunan pra-konstruksi (pre-construction development) sebesar 16% year-on-year, yang merupakan penurunan total sebesar 66% sejak 2015. Pada saat yang bersamaan, status permulaan konstruksi turun 5% dari 2018 dan 66% dari 2015, dibandingkan dengan 2019.

Meskipun terjadi penurunan dalam fase konstruksi, secara kapasitas netto PLTU batubara tumbuh sebesar 34,1 gigawatt (GW) pada 2019. Data tersebut merupakan peningkatan pertama dalam penambahan kapasitas netto sejak 2015. Di mana, hampir dua pertiga atau sekitar 43,8 GW dari 68,3 GW kapasitas PLTU baru yang berada di China.

Baca Juga: Tak bergantung pada ekspor, Bukit Asam (PTBA) optimistis target tahun ini tercapai

Namun, di luar China, kapasitas PLTU batubara global secara keseluruhan mengalami penyusutan selama dua tahun berturut-turut. Hal ini diakibatkan oleh banyak negara yang telah menghentikan kapasitas PLTU batu bara-nya hingga 27,2 GW dibandingkan yang dioperasikan (commissioned) sebesar 24,5 GW.

"Secara global PLTU batu bara turun dan memecahkan rekor pada 2019 karena energi terbarukan tumbuh dan permintaan listrik melambat," ungkap Penulis utama laporan dan Direktur Program Batu Bara GEM Christine Shearer.

Sementara itu, Periset Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan, dalam RUPTL 2019-2028 pemerintah Indonesia masih berencana membangun PLTU batubara sebesar 27 GW hingga sepuluh tahun mendatang. Menurut Adila, penambahan 27 GW PLTU baru di Indonesia akan menghasilkan emisi sekitar 162 juta ton CO2 per tahun atau setara dengan emisi dari 77 juta mobil per tahun.

Oleh sebab itu, Adila meminta supaya pemerintah mempertimbangkan kembali penambahan PLTU batubara. Selain dari sisi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), kata Adila, pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi, konsumsi listrik serta reserve margin pasokan listrik.

"Rencana kelistrikan Indonesia bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Selain itu, penambahan PLTU batu bara baru perlu dipertimbangkan kembali oleh Pemerintah di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik sebagai dampak dari Covid-19," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×