kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.938.000   14.000   0,73%
  • USD/IDR 16.300   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

Greenpeace Kritik Hilirisasi Nikel, Soroti Kerusakan di Raja Ampat


Selasa, 03 Juni 2025 / 20:36 WIB
Greenpeace Kritik Hilirisasi Nikel, Soroti Kerusakan di Raja Ampat
ILUSTRASI. Tempat wisata Raja Ampat menyimpan hampir 75% jenis karang di dunia serta menjadi hunian 1.000 lebih jenis ikan.foto/KONTAN/Titis Nurdiana


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Greenpeace Indonesia melontarkan kritik tajam terhadap proyek industrialisasi nikel yang dinilai mengancam kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal, khususnya di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Kritik tersebut disuarakan dalam bentuk aksi damai yang digelar bertepatan dengan pelaksanaan Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, Selasa (3/6).

Baca Juga: Efek Domino Penurunan Harga Nikel Global: Smelter Berhenti Operasi Hingga Potensi PHK

Saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno menyampaikan pidato pembukaan konferensi, sejumlah aktivis Greenpeace bersama empat pemuda Papua membentangkan spanduk bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Aksi serupa dilakukan di area pameran, menyita perhatian peserta dan pengunjung.

Greenpeace menilai, industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai tulang punggung hilirisasi sektor mineral dan transisi menuju kendaraan listrik justru memicu kerusakan lingkungan di berbagai wilayah, dari Morowali hingga Halmahera.

Kini, ancaman serupa dinilai mulai membayangi Raja Ampat—kawasan yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

“Ketika pemerintah dan pelaku industri sibuk membicarakan masa depan nikel, masyarakat di akar rumput justru menanggung beban kerusakannya. Hutan ditebang, tanah dikeruk, laut tercemar, dan masyarakat lokal terpinggirkan,” ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, dalam pernyataan resminya.

Baca Juga: 9 Negara Penghasil Nikel Terbesar di Dunia, Indonesia di Puncak

Menurut pemantauan Greenpeace pada 2024, aktivitas tambang telah terjadi di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau tersebut seharusnya masuk dalam kategori kawasan konservasi yang tidak boleh dijadikan lokasi tambang.

Analisis Greenpeace menemukan bahwa lebih dari 500 hektare hutan alami telah hilang akibat ekspansi tambang nikel di kawasan tersebut.

Pembukaan lahan dan pengerukan tanah turut menyebabkan limpasan sedimen ke perairan pesisir, berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat.

Greenpeace juga menyoroti ancaman serupa di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, dua pulau kecil yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari ikon wisata Raja Ampat, Piaynemo.

Kawasan ini memiliki nilai penting secara ekologis maupun budaya bagi masyarakat adat.

Baca Juga: Harga Nikel Jatuh Sebabkan Tsingshan Hentikan Produksi Baja Nirkarat di Indonesia

“Tambang nikel di kampung kami bukan hanya mengancam laut sebagai sumber hidup, tapi juga memecah hubungan sosial di antara warga,” ungkap Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat.

Greenpeace mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan hilirisasi nikel yang dinilai terlalu berorientasi pada investasi, namun abai terhadap perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal.

Lembaga lingkungan ini mengingatkan bahwa narasi transisi energi hijau akan kehilangan makna jika tidak dibarengi dengan prinsip keadilan ekologis.

“Transisi energi seharusnya adil dan berkelanjutan, bukan menambah beban krisis iklim atau menciptakan konflik sosial,” tegas Iqbal.

Sebagai catatan, Raja Ampat merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, menjadi rumah bagi lebih dari 2.500 spesies ikan dan 75% jenis karang dunia.

Baca Juga: Filipina Stop Ekspor Nikel, Indonesia Bergegas Gandeng Solomon sebagai Alternatif

UNESCO telah menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari jaringan geopark global sejak 2020.

Dengan potensi ekologis yang luar biasa itu, Greenpeace meminta agar Raja Ampat dikecualikan dari ekspansi tambang nikel demi menjaga salah satu ekosistem laut paling penting di planet ini.

Selanjutnya: AFPI Perluas Edukasi Fintech ke Luar Jawa, Tekan Peredaran Pinjol Ilegal

Menarik Dibaca: 7 Ide Desain Furnitur Ruang Tamu yang Jenius untuk Rumah Minimalis Modern

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×