Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai negara dengan produksi nikel yang mencapai 63% dari total produksi dunia, penurunan harga nikel memiliki dampak besar pada kelangsungan industri nikel mulai dari hulu dan hilir di Indonesia.
Sebelumnya, terkait penurunan harga nikel, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani mengatakan penurunan harga nikel justru menguntungkan Indonesia.
Menurut dia, produk hiliriasi nikel salah satunya baterai untuk kendaraan listrik Electric Vehicle (EV) lebih mudah bersaing dengan baterai EV yang memiliki basis lithium.
"Harga nikel yang turun itu membuat permintaan EV baterai berbasis nikel lebih meningkat," kata Rosan kepada awak media, Jumat (31/1).
Baca Juga: Pemerintah Dukung Pembentukan Danantara untuk Optimalisasi Dividen BUMN
Untuk diketahui, hingga saat ini terdapat dua jenis baterai EV. Yang pertama adalah baterai berbasis nikel disebut dengan baterai NMC atau Nickel-Manganese-Cobalt.Yang kedua adalah baterai EV berbasis lithium, yang disebut dengan baterai LFP atau Lithium-Iron -Phosphate.
Menurut Rosan, penurunan harga nikel akan membuat harga NMC akan bisa lebih bersaing dengan LFP.
"(Permintaan) kendaraan listrik dengan baterai berbasis lithium (LFP) itu kenapa kemarin sempat banyak, karena harga nikel sempat sangat tinggi,” tambahnya.
Tapi apakah penurunan harga nikel serta-merta berdampak pada penurunan harga baterai EV nikel?
Mengutip data dari Trading Economic, harga nikel telah turun US$ 70 per ton atau per metrik ton (MT). Kalau dilihat, dalam persentase telah turun 0,46% sejak awal tahun. Sementara, harga nikel per hari ini, Minggu (02/02) berada pada angka US$ 15.320 per ton.
Jika dirinci, harga ini turun 0,07% dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Dan turun 3,32% jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Menurut perdagangan contract for Difference (CFD) yang melacak pasar acuan untuk komoditas ini, harga nikel yang diperdagangkan pada akhir kuartal pertama tahun ini akan turun lagi, menyentuh harga US$ 14.943,68 per ton.
Tren penurunan ini, diperkirakan akan terus berlanjut dengan target harga yang diperdagangkan pada angka US$ 14.116,69 per ton dalam jangka waktu 12 bulan tahun ini.
Melihat penurunan yang terus terjadi dalam salah satu komoditas unggulan mineral ini, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengatakan terlalu dini menyimpulkan penurunan harga akan menguntungkan Indonesia.
"Kita harus melihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika kita melihat dampak efisiensi terhadap harga keekonomian, dalam jangka panjang katakanlah 5-10 tahun, karena teknologi yang dibangun saat ini belum tentu sudah mencapai pada titik payback period-nya," ungkap dia saat dihubungi Kontan, Minggu (02/02).
Persaingan penjualan baterai ungkap Yayan, berhubungan dengan seberapa kuat baterai berbasis nikel bisa diterima di pasaran, bukan hanya soal menurunnya harga bahan baku.
"Prospek EV bukan berbasis Nickel Ore, tapi diluar itu, yaitu LFP yang lebih murah. Jadi jangan lah kita terlalu optimis akan hal tersebut," tambah dia.
Asal tahu saja, LFP menjadi salah satu baterai pilihan di China saat ini, sebab karakteristik yang lebih murah meski daya simpan lebih rendah dibandingkan dengan NMC. LFP juga disebut lebih mendukung jarak tempuh EV China yang mayoritas lebih pendek dibandingkan mobil-mobil EV Eropa yang dirancang untuk menempuh jarak jauh.
"Dampaknya, akan menurunkan kinerja Industri Nikel kita, dan perlu bagi Indonesia untuk segera melakukan switching strategy karena sudah pasti Tiongkok akan melakukan Game Strategy untuk menyerap sisa produksi EV yang ada saat ini," kata dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia. Menurut dia penurunan harga nikel tidak serta merta membuat harga baterai berbasis nikel menjadi lebih kompetitif.
"Penurunan harga nikel tidak serta merta membuat harga baterai nikel menjadi lebih bersaing, karena sebenarnya banyak faktor lain yang mempengaruhi (harga)-nya," ungkap dia saat dihubungi Kontan, Minggu (02/02).
Meski begitu, Hendra bilang baterai EV berbasis nikel memiliki beberapa kelebihan dibandingkan lithium. Diantaranya adalah kemampuan untuk didaur ulang sehingga bisa digunakan kembali dan memberikan value added baru.
"Karena, baterai berbasis nikel mempunyai beberapa kelebihan dibanding LFP misalnya daya simpan listrik yang relatif lebih besar dan bisa di-recycle kembali," tambahnya.
Disisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar mengatakan penurunan harga nikel memang bisa bisa membuat produk hilir nikel bisa bersaing karena biaya produksi yang lebih murah.
Namun, ia juga mewanti-wanti pemerintah Indonesia agar tidak terlena pada merosotnya harga nikel. Sebab penurunan harga diprediksi akan terjadi pada waktu cukup lama, kecuali ada inovasi teknologi dan industri yang membutuhkan nikel dalam jumlah besar.
"Langkah yang bisa dilakukan memaksimalkan ekspor ke negara negara lain dan memaksimalkan hilirisasi. Jika industri baterai berbasis nikel mampu bersaing dan permintaan naik, maka dengan sendirinya permintaan dan harga nikel juga akan naik," katanya.
Baca Juga: Harga Nikel Anjlok Imbas Kebijakan Trump, Rosan: Justru Untungkan Indonesia
Selanjutnya: Jadwal Pelantikan Kepala Daerah Mundur, Dasco: Supaya Yang di Lantik Lebih Banyak
Menarik Dibaca: Cara Tercepat Turunkan Gula Darah Tinggi Ketika Darurat di Rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News