kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Grup Alfa berani ekspansi di tengah krisis


Jumat, 30 September 2016 / 14:42 WIB
Grup Alfa berani ekspansi di tengah krisis


Reporter: Dessy Rosalina, Galvan Yudistira, Yuwono Triatmodjo | Editor: Rizki Caturini

Siapa sangka jika seorang pedagang toko kelontong kelak menjadi taipan pemilik puluhan ribu minimarket? Tak bisa mencicip bangku kuliah, Djoko Susanto, pendiri Grup Alfa mewarisi darah pedagang sang ayah. 

Cikal bakal grup ini bermula saat Djoko membuka toko kelontong bernama sumber Bahagia pada 1967 silam di Petojo, Jakarta Pusat. Ulet dan fokus menjadi bekal Djoko membesarkan bisnis kendati usianya masih menginjak 16 tahun.

Di toko miliknya, pria pehobi diving ini menjual berbagai macam kebutuhan pokok, termasuk rokok. Seiring berjalannya waktu, Djoko sukses menguasai penjualan rokok di Indonesia. 

Djoko menjadi penjual rokok Gudang Garam terbesar di Indonesia pada 1987. Dua tahun berikutnya, Djoko meraih gelar penjual terbanyak rokok Marlboro atau menguasai 40% penjualan Marlboro di Indonesia.

Keahlian mengelola bisnis kelontong pula membuat pebisnis Putera Sampoerna terpincut. Putera menawarkan kursi direksi di PT HM Sampoerna Tbk lantaran Djoko menyandang gelar pedagang rokok sukses. 

Dus, pada 1987, pedagang kelontong ini duduk di kursi Direksi Distribusi HM Sampoerna. "Pertimbangan saya, jika bisa berteduh di pohon beringin, kenapa harus kepanasan di tanah kering?," ujar Djoko.  

Pertemuan dengan Putera menjadi batu loncatan bagi masa depan bisnis Grup Alfa. Jejalinan Djoko dan Putera Sampoerna melahirkan PT Sumber Alfaria Trijaya dan Alfa Retailindo (Alfa Gudang Rabat) pada 1989. Beranjak tumbuh, krisis 1998 memukul bisnis Alfa. Tapi, keberuntungan memihak Djoko lantaran saat itu dia tidak memiliki utang dalam dollar AS.

Berani ekspansi

Saat krisis 1998 mengguncang, Djoko mengelola 30 toko wholesale Alfa Gudang Rabat dengan pegawai 1.000 orang. Keberuntungan lain adalah tak ada satu pun toko yang terbakar karena pegawai Alfa cepat tanggap memadamkan api.

Tapi, sekitar tujuh toko dijarah ludes. Di tengah krisis, kejelian bisnis Djoko justru muncul. Dengan keberanian, Djoko langsung membuka jaringan tokonya dua pekan setelah kerusuhan 1998. "Semua orang ke luar negeri, saya justru mau kembali karena lagi di Hong Kong. Saya dapat windfall karena kompetitor lain baru buka dua bulan setelah kerusuhan," tutur Djoko.

Setahun setelah krisis, Djoko makin ekspansif dengan mendirikan Alfa Minimart yang kemudian berubah nama menjadi Alfamart. Resep sama menjadi bekal Djoko melewati krisis 2008.

Meski tak memiliki utang dollar, bisnis Alfamart tertekan daya beli masyarakat yang lesu pada 2008. Strategi Alfamart, menerapkan efisiensi semisal menghemat penggunaan kertas. 

Strategi Alfamart, menerapkan efisiensi semisal seluruh pegawai termasuk direksi, hanya boleh memakai pesawat kelas ekonomi. Sepanjang 2009, Alfamart juga selektif ekspansi lantaran masih di masa konsolidasi. 

Lagi-lagi, Alfamart tetap berani ekspansi. Jika di 2008, Djoko membuka 543 gerai, pada 2009 ada 594 gerai Alfamart baru muncul dan kemudian melonjak menjadi 1.439 gerai baru dibuka pada 2010. 

Pengalaman panjang Djoko di bisnis ritel melahirkan keberanian ekspansi di masa krisis. Saat ini, Djoko tercatat menjadi juragan atas 11.950 gerai Alfamart, 150 Alfamidi dan 30 Lawson. 

Grup Alfa juga merangsek ke Filipina dengan menggandeng peritel setempat. Lewat Alfaland, konglomerasi juga mulai gencar menggarap proyek properti.

Berani ekspansi bukan berarti tak hati-hati. Sejak empat tahun lalu membawa merek Lawson, bisnis convenience store ini belum untung.  Penyebabnya, konsep Lawson kurang cocok dengan budaya konsumen di Indonesia. "Saya rem ekspansi dan tak ragu menutup 35 dari 70 gerai Lawson," ujar dia. Tapi, prediksi Djoko, bisnis Lawson bakal berkibar empat tahun lagi.      

Generasi kedua

Saat menemui KONTAN, Kamis (29/9), wajah Djoko Susanto, pendiri Grup Alfa, tampak segar dan awet muda. Tak ada yang menyangka bahwa taipan ini sudah menginjak usia 66 tahun.

Asal tahu saja, usia kerja Djoko memasuki masa emas atau tahun ke-50. Maklum, Djoko sudah banting tulang membuka toko kelontong sejak usia 
16 tahun. 

Meski masih segar bugar, Djoko sadar betul bahwa kekuatan tubuhnya akan terus menurun. Atas dasar itulah, sejak lima tahun lalu, ia mempersiapkan anak-anaknya sebagai pewaris bisnis Grup Alfa. 

Menurut taipan dengan nilai kekayaan US$ 1,25 miliar versi Forbes ini, penting bagi pemimpin perusahaan untuk menyiapkan generasi penerus sedini mungkin. "Selagi sehat justru mundur. Kalau sudah tidak bisa apa-apa, malah peralihan bisnis bisa ribut-ribut," ujar Djoko.

Salah satu prinsip yang diterapkan Djoko dalam menyiapkan generasi kedua adalah memberikan ruang kesalahan. Pemilik puluhan ribu jaringan gerai Alfamart ini melatih naluri bisnis lima anaknya dengan cara menjalankan bisnis. "Mereka bisa membuat satu kesalahan. Ini untuk testing!" ujar pria berkacamata ini. 

Yang menarik, Djoko melatih bisnis sang anak mulai dari tanggung jawab yang sederhana. Asal tahu saja, putera-puteri Djoko yang berkecimpung di bisnis ritel harus rela meniti karier sebagai manajer gerai Alfamart yang mengurusi kasir, suplai barang dan lainnya, selama satu tahun hingga dua tahun. 

Djoko juga memiliki cara unik agar anak-anaknya menimba ilmu yang mumpuni. "Semua anak saya juga saya haruskan bekerja di perusahaan orang lain minimal dua tahun," jelas dia.

Saat ini, anak Djoko yang menjalankan bisnis ritel yakni Budiyanto Djoko Susanto dan Feny Djoko Susanto. Tiga anak lain bergelut di bisnis properti, sekolah dan lainnya. Bagi Djoko, menyerahkan tongkat estafet selagi sehat memudahkannya leluasa menekuni hobi diving.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×