Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BEIJING/JAKARTA. Upaya Indonesia untuk menetapkan harga acuan baru batubara melalui skema pemerintah belum mendapatkan sambutan positif dari pembeli utama di China.
Penolakan ini berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam menentukan nilai ekspor komoditas batubara termal andalannya.
Sejak 1 Maret 2025, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan harga acuan baru bernama Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai patokan transaksi batubara domestik maupun ekspor, menggantikan peran Indonesian Coal Index (ICI) yang sebelumnya dominan digunakan pasar. Sebelumnya, HBA hanya digunakan sebagai dasar perhitungan royalti.
Baca Juga: Ini Daftar Harga Batubara Acuan Terbaru Periode II Bulan April 2025
Namun, hampir dua bulan sejak diberlakukan, mayoritas pembeli batubara China masih menggunakan skema harga ICI dalam transaksi mereka.
Dua pedagang batubara asal China mengatakan, HBA dinilai kurang transparan, diperbarui lebih jarang, dan harganya lebih tinggi dibanding ICI.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga mengakui bahwa sebagian besar eksportir belum beralih ke HBA karena pembeli merasa lebih nyaman dan familiar dengan mekanisme harga ICI.
"Kami sudah melakukan evaluasi dan sedang mengkaji dampaknya. Setelah selesai, hasilnya akan kami sampaikan ke pimpinan untuk bahan kebijakan," ujar Julian Ambassadur, Direktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat diminta tanggapan mengenai implementasi HBA melansir Reuters, Kamis (24/4).
Namun ia enggan merinci hasil evaluasi tersebut atau menanggapi rendahnya adopsi HBA.
Indonesia adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, dan ekspornya ke China pada 2024 mencapai nilai US$ 17,2 miliar.
Baca Juga: Penurunan Terjadi pada Setiap Golongan, Berikut HBA Periode Kedua Maret 2025
Namun demikian, Indonesia masih kesulitan memperkuat pengaruh dalam pembentukan harga global, di tengah upaya reformasi sektor pertambangan dan peningkatan hilirisasi sumber daya mineral nasional.
Kebijakan ini semula hanya diterapkan untuk transaksi spot sejak awal Maret, sedangkan kontrak jangka panjang yang sudah berjalan masih tetap menggunakan harga ICI.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan eksportir dan negara.
Namun ia memperingatkan bahwa strategi ini dapat menjadi bumerang jika harga yang lebih tinggi mendorong pembeli mencari alternatif lain.
Salah satu perusahaan batubara nasional, yang enggan disebutkan namanya, menyebut harga HBA yang tinggi menyulitkan proses transisi.
“Kami masih pakai ICI untuk penjualan karena harga HBA membuat kami makin rugi,” ungkap sumber tersebut.
Toby Hassall, analis batubara dari LSEG, menambahkan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi minat investasi, mengingat banyak produsen batubara saat ini sudah beroperasi dalam kondisi merugi.
Baca Juga: Diprotes Importir China, Dirjen Minerba Tegaskan Tak Ada Penundaan Penerapan HBA
Permintaan Melemah, Harga Tertekan
Di sisi lain, lemahnya permintaan dari China dan India — dua negara pembeli batubara seaborne terbesar dunia — juga melemahkan posisi tawar Indonesia dalam menentukan harga.
Menurut data bea cukai China, impor batubara Negeri Tirai Bambu pada Maret 2025 turun 6% secara tahunan menjadi 38,73 juta ton.
Sementara itu, pengiriman dari Indonesia turun lebih dalam, mencapai penurunan 9%.
Importir utama China, Shenhua Energy, bahkan menghentikan seluruh pembelian batubara impor pada bulan Maret karena stok di pelabuhan yang menumpuk.
Asosiasi CCTD memperkirakan impor batubara China tahun ini akan turun sekitar 2%, sementara analis Guosheng Securities memperkirakan impor batubara termal — yang mendominasi pengiriman batubara Indonesia ke China — bakal turun sekitar 5% dibandingkan 2024.
Selanjutnya: IHSG Turun, Cek Rekomendasi BBNI, DEWA, dan BKSL Untuk Jumat (25/4)
Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamidi Hanya 4 Hari Periode 24-27 April 2025, Cek di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News