Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Harga ayam hidup di tingkat peternak terus melandai. Sejak akhir Januari 2017 hingga Kamis (23/3), rata-rata harganya Rp 11.000-Rp 13.000 per kilogram (kg). Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), Hartono mengatakan, kondisi ini disebabkan berlebihnya pasokan grand parent stock (GPS) atau nenek ayam.
"Tahun 2014, perhitungan pasar kita hanya membutuhkan 500.000 ekor GPS per tahun. Realisasi impor 2015 ada 700.000 ekor. Over supply hari ini imbas dari reses 2015 kemarin," terang Hartono dalam forum Bincang-bincang Agribisnis (BBA), Kamis (23/3).
Dampaknya, pasokan anak ayam usia sehari atau day old chick (DOC) juga melonjak. Saat ini, produksi DOC mencapai 62 juta ekor per minggu. Sedangkan konsumsi masyarakat hanya 50 juta ekor per minggu.
Hartono mengutarakan, pihaknya sudah meminta pemerintah untuk mengurangi impor GPS sejak dua tahun lalu. Akan tetapi, tidak dipenuhi oleh pemerintah. "Kami selalu diancam jika tidak impor, nanti pasokan kurang," tuturnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), Sugeng Wahyudi mengatakan, biaya produksi yang dikeluarkan peternak mencapai Rp 17.000 per kg. "Jadi kalau harga Rp 18.000 per kilogram sudah cukup bagi peternak. Sekarang peternak rugi sampai Rp 5.000 per kilo," ujarnya, Kamis (23/3).
Ia bilang, biaya produksi tertinggi ada pada pembelian pakan ternak dan bibit. Kedua kebutuhan tersebut memakan sekitar 88% biaya produksi. Akibat kondisi ini, total kerugian para peternak ayam broiler mencapai Rp 1,28 triliun.
Meski demikian, harga daging ayam di konsumen masih tinggi, di kisaran Rp 29.000-Rp 32.000 per kg. Sugeng menduga ada permainan harga di salah satu mata rantai distribusi. "Minimal ada empat rantai distribusi. Biasanya untung paling tinggi ada di pedagang eceran karena risikonya paling besar," ungkapnya. Satu rantai distribusi biasanya mengambil keuntungan Rp 3.000-Rp 4.000 per kg.
Pengamat pertanian, Khudori berpendapat bahwa untuk menangani kasus tahunan ini, Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Kementerian Perdagangan (Kemdag) harus bekerja sama. "Persoalan di hulu seperti meningkatkan produksi bisa diatur oleh Kementan. Sedangkan tata niaganya diurus oleh Kemdag," ungkapnya.
Ia menyarankan, pengadaan GPS akan lebih baik jika dari dalam negeri. Kalaupun harus impor, pemerintah sebaiknya punya data yang benar soal kebutuhan.
"Persoalan di hilir yang diurus Kemdag, tidak sekedar merevisi Permendag no.63. Tapi juga harus mengatur penetapan harga dari peternak hingga konsumen akhir, cadangan pasokan agar pemerintah bisa intervensi harga, dan alur distribusi," pungkas Khudori.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News