Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Indonesia harus mampu menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat soal patokan harga minyak sawit mentah (CPO). Selama ini patokan harga CPO justru memakai ringgit Malaysia dan bukan rupiah.
Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar Siswono Yudhohusodo mengatakan, pemerintah Indonesia bisa menyuarakan pendapat tersebut dalam perhelatan KTT APEC Oktober mendatang.
"Selama ini Indonesia menjadi negara terbesar dalam produksi kelapa sawit sejak lima tahun terakhir. Namun patokan harga CPO dunia malah memakai ringgit Malaysia, bukan rupiah," kata Siswono dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (26/9).
Ia menilai karena KTT APEC akan berlangsung di Indonesia, maka bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sebab, pemerintah Indonesia telah berhasil memasukkan isu mengenai produk kelapa sawit yang selama ini dinilai sebagai produk yang tidak ramah lingkungan.
Sebagai negara terbesar produsen CPO, Indonesia mampu memproduksi CPO di tahun ini sebesar 25 juta ton. Sementara Malaysia hanya 18,9 juta ton. “Sebagai pemain terbesar, Indonesia harusnya lebih dominan dalam komoditas ini. Konsumsi minyak kelapa sawit di dunia sendiri meningkat sebanyak 7% setiap tahunnya. Harusnya Indonesia lebih agresif,” tuturnya.
Harga minyak kelapa sawit dunia kini sudah melebihi dua kali lipat biaya produksinya dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini yang tidak terjadi dengan komoditas lainnya di Asia selama beberapa dekade.
Saat ini, komoditas nabati dunia didominasi oleh tiga jenis komoditas, yakni sawit, canola, dan soybean (Kacang Kedelai). Pasar sawit mayoritas terdapat di Asia, komoditas Canola mayoritas terdapat di Eropa, dan mayoritas komoditas soybean terdapat di Amerika.
Menurut Siswono, saat ini komoditas sawit lebih kompetitif dan efisien, jika dibandingkan dengan komoditas canola dan soybean. Karena itu, Siswono menduga karena alasan itulah Amerika dan Eropa menekan pasar sawit di Asia. “Ketakutan itulah yang membuat Amerika dan Eropa menahan komoditas sawit,” ujar Siswono.
Bagi Indonesia, ekspor CPO menjadi pendorong utama kinerja ekspor non-migas pada Mei 2013. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Mei 2013 ekspor lemak dan minyak hewan/nabati Indonesia naik US$ 311,9 juta, dari US$ 1.400,4 juta pada April 2013 menjadi US$ 1.712,3 juta.
“Sebagai tuan rumah APEC seharusnya Indonesia bisa lebih tegas. Tidak perlu malu-malu menjadi pemimpin di bidang yang didominasi oleh Indonesia. Apalagi CPO adalah penyumbang devisa ekspor,” tegasnya. (Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News