Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingginya harga gabah namun ditekannya harga beras eceran menyebabkan pengusaha dan sektor penggilingan berpikir ulang dalam melakukan bisnisnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Burhanuddin menyampaikan dari 180.000 anggota penggilingan padi, kini 40%-60% sudah tidak beroperasi.
"Kesulitan penggilingan padi kecil adalah karena sulit menemui harga beras premium dan medium yang sesuai ketentuan," katanya, Selasa (23/10).
Dalam perhitungan Burhanuddin, harga gabah kering panen di Rp 4.800 per kilogram, sedangkan di daerah yang mengalami kekurangan bisa mencapai Rp 5.200 per kilogram.
Walau tak merinci harganya bila dikonversi menjadi beras, namun Burhanuddin mengindikasikan keuntungan penggilingan padi sangat minim.
Adapun pada paparan kinerja ekonomi masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama empat tahun terakhir, harga rata-rata beras juga berfluktuasi cukup besar.
Data olahan BPS menunjukkan dalam empat tahun terakhir khusus bulan Oktober, harga beras paling mahal terjadi pada bulan Oktober tahun 2014 seharga Rp 11.522 per kg, dan paling murah di Oktober tahun 2016 seharga Rp 10.061 per kilogram.
Bulan Oktober ini, BPS mencatat harga beras di Rp 11.415 per kg. Padahal dalam acuan Harga Eceran Tertinggi yang diteken Menteri Perdagangan, harga beras medium Rp 9.450 per kg.
Artinya, hampir tak mungkin bagi penggilingan kecil untuk mengikuti acuan harga pemerintah tanpa mengalami kerugian. Apalagi, penggilingan kecil juga masih harus bersaing dengan penggilingan medium dan besar yang mampu mengakuisisi pasar gabah dengan lebih mudah dan harga bersaing di petani.
"Selama ini tidak diatur pemerintah, akan terus ada persaingan, kecuali bila produksi gabah meningkat. Juga, memang harganya terlalu tinggi, tidak sesuai dengan harga beras sehingga jadi rugi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News