Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Masa transisi energi, ketika bauran energi primer didominasi oleh energi baru terbarukan (EBT), kenaikan tarif listrik akan sulit dihindari. Pasalnya, selama ini harga listrik dari pembangkit fosil, batubara dan diesel masih disubsidi pemerintah.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan di masa transisi energi harus diseimbangkan antara bauran energi secara keseluruhan, keberlanjutan, dan keterjangkauannya.
“Terkait tarif listrik, saat ini sebenarnya kalau mau disesuaikan pada harga pasar, sudah seharusnya harga energi naik. Misalnya batubara untuk kelistrikan PLN selama ini mendapatkan subsidi melalui Domestic Price Obligation (DPO),” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (19/11).
Baca Juga: PLN Tetap Pertahankan Operasional PLTU Hingga Kontrak Jual-Beli Listrik Berakhir
Komaidi menjelaskan, dalam beberapa waktu terakhir, harga acuan batubara sudah mencapai US$ 135 per ton hingga US$ 140 per ton, sementara harga emas hitam untuk PLN dibatasi US$ 70 per ton. Maka itu ada subsidi sekitar US$ 65 hingga US$ 70 per ton.
Jika dikalikan dengan konsumsi lantas dikurskan, subsidi untuk batubara saja sudah memakan anggaran negara sekitar Rp 150 triliun.
“Belum lagi dengan subsidi harga gas khusus dan lainnya, ada Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun yang dialokasikan ke sektor kelistrikan dari hulu hingga tariffnya,” jelasnya.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menambahkan, selama ini beban pokok penyediaan (BPP) PLTU dikatakan murah karena adanya kuncian harga batubara dan biaya kelebihan kapasitas yang ditanggung rata.
“Terdapat berbagai pernyataan mengenai potensi naiknya BPP untuk memenuhi target EBT, seperti dalam RUPTL, dari Rp 1.445/kWh menjadi Rp 1.637/kWh. Pertanyaan saya kepada PLN apa asumsi ‘business as usual’ PLN tanpa energi terbarukan ke depan?” ujarnya dihubungi terpisah.
Pasalnya, pembangunan PLTU baru sudah tidak diakomodasi baik oleh komitmen pemerintah maupun berbagai sumber lembaga pendanaan. Maka membandingkan asumsi masa lalu, dinilai Putra, bukanlah hal yang wajar.
Oleh karenanya perlu keberpihakan yang kuat untuk mereformasi kebijakan harga batubara domestik yang membuat harga asli dari PLTU tidak tampak. Belum lagi jika penggunaan PLTU juga menghitung berbagai biaya eksternalitas lainnya.
Putra menerangkan, saat ini harga listrik dari EBT sudah lebih kompetitif. Ambil contoh, tariff listrik PLTS sudah menunjukkan penurunan, seperti di PLTS Cirata senilai US$ 5.8 sen/kWh.
Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033 PLN akan menambah 75% pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan kapasitas 31,6 Gigawatt (GW) dan 25% pembangkit gas sebesar 10,5 GW.
PLN akan mengandalkan EBT Baseload berupa pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit panas bumi (PLTP).
Baca Juga: Kebutuhan Mendesak, Pemerintah Dorong Power Wheeling Masuk RUU EBET
Putra mengingatkan harga listrik PLTA cukup bervariasi dan PLTP memang masih menantang, tetapi kedua pembangkit ini memiliki kelebihan seperti stabilnya produksi listrik.
Namun untuk pembangkit gas, Putra menyatakan agar pemerintah lebih berhati-hari karena kebijakan harga gas US$ 6/MMBTU belum tentu bisa bertahan seiring dengan menurunnya produksi gas di dalam negeri.
Lantas untuk bisa tetap relevan di masa depan, harus ada perhatikan khusus pada lapangan kerja yang menopang ekonomi yang memerlukan energi bersih. Hal ini bisa dilihat dari kuatnya permintaan energi bersih dari berbagai pelaku usaha.
“Energi murah tetap diperlukan, dan pemerintah harus memberanikan merealokasikan sebuah dana transisi dari sumberdaya yang ada -batubara, biofuel, gas- untuk melangkah ke depan,” tandasnya.
Senada, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menilai, selama ini harga patokan pembangkit menggunakan parameter US$ 5 cent hingga US$ 6 cent per KWh karena adanya subsidi batubara yang dibatasi di US$ 70 per-ton.
“Coba kalau tidak ada DPO, pasti mahal sekali listriknya. Ini yang sedang kita cermati, listrik ini kan ada transisinya, yang disubsidi harusnya energi bersih,” ujarnya ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (15/11).
Subsidi ke energi bersih yang dimaksud Sugeng, salah satunya berasal dari pajak karbon (carbon tax). Rencana awalnya, pajak karbon ini akan berkontribusi mendukung pengembangan energi bersih di dalam negeri.
Namun sayang, Sugeng melihat saat ini ketentuan pajak karbon senilai Rp 30.000 perton masih mendapat respon kurang baik dari pelaku industri.
Selain dari pajak karbon, upaya lain untuk mengakselarasi EBT, yang bisa dilakukan ialah mengganti pembangkit tenaga diesel (PTLD) menjadi EBT. Menurutnya, upaya dedieselisasi harus segera dijalankan karena secara teknis masuk akal untuk dijalankan.
Baca Juga: Sejumah Perusahaan Konglomerat Berlomba-Lomba Garap Bisnis PLTS
“Harga listrik dari PLTD sekarang sudah lebih dari US$ 29 cent per KWh, dan itu pun tetap disubsidi kan BBM-nya menggunakan solar subsidi. Kalau dibangun PLTS dengan Baterai dengan harga listriknya US$ 20 cent per KWh ini masih bisa dilakukan,” ujarnya.
Menurutnya, harga listrik EBT seharusnya dibandingkan dengan harga listrik setempat, bukan dengan harga listrik rata-rata dari PLTU yang berada di kisaran US$ 5 hingga US$ 6 cent per KWh. Kalau pembandingnya tidak setara, Sugeng menyatakan, bisa jadi transisi energi semakin sulit dilakukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif tidak menampik bahwa ke depan harga listrik akan naik. Meski demikian, penyesuaian ini akan sebanding dengan insentif dan disinsentif yang akan dirasakan pelaku usaha. Dia mencontohkannya dengan pelaksanaan pajak karbon.
“Ya nanti (harga listrik) kita akan lihat, PLTU kan batubara di-cap. Terus nanti kalau ekspor barang kena pajak karbon gimana,” ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/11).
Menurutnya, akses energi bersih harus dibuka seluas-luasnya ke industri untuk meningkatkan daya saing produk dari Indonesia di dunia serta menjaga kelangsungan bisnis di masa transisi energi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News