Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri minyak global sedang bergulat dengan beberapa potensi kendala di masa depan. Mulai dari bayangan pelemahan pasar akhir tahun atau hingga 2026 dan kendala dari kelebihan pasokan.
Meskipun, harga minyak terpantau mengalami perbaikan, setidaknya menuju US$70 per barel.
Mengacu pada data Refinitiv per 13.45 WIB, harga Brent (LCOV5) naik tipis ke level US$ 68,22 per barel, dari US$ 67,66 per barel pada penutupan sehari sebelumnya.
Sementara harga WTI, Senin (28/07) juga menguat ke posisi US$ 65,36 per barel, naik 0,31% dari akhir pekan lalu yang ada di US$ 65,16 per barel.
Meski mengalami kenaikan, melansir Bloomberg, Senin (28/07) perusahaan energi Prancis, TotalEnergies SE, pekan lalu memperingatkan bahwa pasar saat ini tengah menghadapi pasokan yang melimpah karena kelompok OPEC+ melonggarkan pembatasan produksi, meskipun pertumbuhan global yang melambat membebani permintaan.
Baca Juga: Jawab Kebutuhan Industri, ExxonMobil Hadirkan MACHINEXT di Batam dan Jakarta
Penambahan produksi, didukung oleh pernyataan perusahaan migas Norwegia, Equinor ASA yang mengatakan mengatakan bahwa lapangan minyak mereka, Johan Castberg akan beroperasi dengan kecepatan penuh, didukung dengan adanya tambahan dari aset lepas pantai mereka di Brasil.
Badan Energi Internasional (IEA) maupun Badan Informasi Energi AS (EIA) awal bulan ini memperkuat perkiraan mereka untuk surplus minyak yang diperkirakan mulai tahun depan.
Keduanya memperkirakan pasokan akan melampaui permintaan paling tinggi sejak pandemi, dengan proyeksi IEA sebesar 2 juta barel per hari.
Surplus yang menekan harga akan membantu mengendalikan inflasi, namun merugikan produsen berbiaya tinggi, dan kemungkinan akan menyenangkan Presiden AS Donald Trump yang telah menyerukan penurunan harga minyak sejak ia menjabat.
Meski begitu, menurut kepala riset komoditas dan derivatif di Bank of America Corp, satu isu yang dapat menopang harga minyak di tengah surplus adalah peningkatan permintaan di musim panas.
“Salah satu isu yang menopang harga minyak adalah kekuatan musiman di bulan-bulan musim panas,” ujar Francisco, dalam sebuah wawancara di Bloomberg TV.
“Surplus pada paruh kedua tahun ini akan mendekati 200 juta barel,” yang pada akhirnya akan membebani harga, tambahnya.
Hal ini sangat kontras dengan kondisi saat ini, persediaan minyak di pusat-pusat penyimpanan utama masih rendah, tercermin dalam struktur pasar yang bullish. Margin keuntungan dari pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar pun tetap jauh di atas rata-rata musiman, menandakan permintaan masih kuat.
Namun, setelah kekuatan musim panas mereda, surplus global kemungkinan akan muncul, menurut Natasha Kaneva, kepala strategi komoditas global di JPMorgan Chase & Co.
"Pasokan (minyak) akan meningkat," kata Kaneva.
"Pada titik tertentu, penumpukan persediaan ini akan mulai terlihat dalam inventaris yang terlihat di negara-negara OECD seperti Amerika Serikat. Saat ini, hal ini belum diperhitungkan," tambahnya.
Meskipun ketegangan dagang global bisa mengganggu permintaan, tren historis menunjukkan bahwa perkiraan konsumsi seringkali direvisi karena adanya peningkatan permintaan.
Dari 2012 hingga 2024 (dengan pengecualian tahun 2020 akibat pandemi) misalnya, proyeksi permintaan IEA rata-rata naik 500.000 barel per hari setelah data lengkap dirilis.
Disisi lain, pemerintah AS kini telah memperkirakan pasokan minyak global sekitar 2,1 juta barel per hari, atau akan lebih tinggi pada kuartal keempat tahun ini dibandingkan kuartal pertama, ini akan menjadi peningkatan terbesar yang pernah terjadi sejak Februari.
Baca Juga: Kekhawatiran Ekonomi AS dan China, Harga Minyak Mentah Kembali Ditutup Melemah
Selanjutnya: Kembangkan Layanan Indihome, Mitratel (MTEL) & Telkom (TLKM) Optimalkan Aset Fiber
Menarik Dibaca: Promo PHD Double Box Hemat, 2 Pizza Mulai Rp 80.000-an Bebas Pilih 14 Topping Favorit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News