Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Sanny Cicilia
KETAPANG. Bisnis PT Harita Prima Abadi Mineral masih terpuruk akibat larangan ekspor mineral bahan mentah. Demi mengubah nasib, perusahaan tersebut menargetkan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) rampung paling lambat akhir kuartal I-2016.
Larangan ekspor mineral mentah itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM 1/2014. Beleid itu membikin perusahaan pertambangan seperti Harita Prima tak bisa mengekspor mineral mentah sejak 12 Januari 2014.
Agus Rusli, Kepala Divisi External Relation PT Harita Prima Abadi Mineral mengatakan, sejak aturan berlaku, Harita Prima tak bisa mengekspor 1,14 juta ton bijih bauksit. Itu adalah hasil produksi tambang sejak 2013.
Nilai penjualan atas jutaan ton bijih bauksit tersebut US$ 43,32 juta. "Bauksit itu kini menumpuk di lokasi pertambangan dan menjadi uang mati," ujar Agus, Senin (3/8).
Tak berhenti pada hitungan kerugian di depan mata. Harita Prima menghitung, sejak operasional penambangan berhenti Januari tahun lalu, mereka mengantongi potensi kerugian pendapatan sebesar US$ 456 juta.
Potensi kerugian tersebut berdasarkan penghitungan kapasitas produksi dalam kondisi normal yang mampu diproduksi dan rata-rata penjualan 12 juta ton per tahun. Acuan harga rata-rata bijih bauksit Harita Prima adalah US$ 38 juta per ton.
Di luar dampak ekonomis, Setiyo Wibowo, Manager Marine Site Airupas PT Harita Prima Abadi Mineral bilang, larangan ekspor membikin Harita Prima melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 4.455 karyawan. Lalu, sejumlah alat produksi teronggok. Antara lain 36 unit bauxite processing plant (BPP), 439 unit alat berat, 722 unit dum truck dan 286 unit mobil double cabin.
Agar nasib merana tak semakin berkepanjangan, Harita Prima ngebut menyelesaikan pembangunan smelter pengolahan bijih bauksit. "Sampai sejauh ini, proses pembangunan smelter sudah mencapai 52%," jelas Agus.
Pembangunan smelter tersebut dilakukan oleh PT Cita Mineral Investindo Tbk, induk usaha Harita Prima. Cita Mineral mendirikan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat untuk menggarap smelter di sana.
Smelter itu berkapasitas produksi smelter grade alumina (SGA) sebesar 4 juta ton per tahun. Proses pembangunannya sudah dimulai sejak 17 Juli 2013 ini. Well Harvest akan melengkapi smelter tersebut dengan pembangkit listrik dan pelabuhan.
Biaya investasi pembangunan smelter mencapai US$ 2,28 miliar atau setara Rp 29,64 triliun. Perincian penggunaan dananya, 76,82% untuk membangun alumina refinery, 13,35% untuk membangun pembangkit listrik dan sisanya 8,03% untuk membangun pelabuhan.
Harita Prima menargetkan paling cepat akhir tahun 2015 atau paling lambat kuartal I-2016, pembangunan smelter rampung. "Sehingga kami bisa kembali melakukan penambangan dan melakukan ekspor," harap Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News