kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hilir migas ditata, hulu masih terkendala


Senin, 24 Oktober 2016 / 10:21 WIB
Hilir migas ditata, hulu masih terkendala


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Dua tahun sudah Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah. Dalam dua tahun itu, sejumlah kebijakan bidang energi dan mineral banyak di keluarkan. Salah satu kebijakan yang mencolok adalah kebijakan berupa pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Jokowi sedari awal memerintah memang ingin mencabut subsidi BBM, yang tak bisa dilakukan pemerintahan sebelumnya. Maka itu, IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bilang, kebijakan mencabut subsidi merupakan program paling sukses pemerintahan Jokowi.

Maklum, kebijakan soal subsidi BBM merupakan kebijakan yang sensitif dan banyak menuai kontroversi di era sebelumnya. "Pengurangan subsidi yang dilakukan secara signifikan dilakukan tanpa ada gejolak, dan perekonomian tetap tumbuh," kata Wiratmaja beberapa waktu lalu.

Program kedua Jokowi yang dinilai bermanfaat di sektor migas adalah, pembangunan infrastruktur gas. Di era Jokowi, pembangunan jaringan gas rumah tangga (Jargas) dan pembangunan kilang LPG dimulai dengan investasi selama 15 tahun senilai US$ 48,2 miliar. "Dulu tersendat, sekarang kami sudah punya program dan pembangunannya kencang sekali. Utilisasi energi juga sudah bergerak cepat," kata Wiratmaja.

Selain kebijakan tersebut, baru-baru ini Presiden Jokowi juga mencanangkan penetapan satu harga untuk BBM di seluruh Indonesia yang programnya dimulai di Papua. Di samping itu, pemerintah juga melakukan penyebaran LPG yang lebih luas di masyarakat dengan program converter kit untuk nelayan.

Sayangnya, sejumlah kebijakan yang baik di hilir migas tidak dibarengi dengan pencapaian yang baik di sektor hulu. Wiratmaja menjelaskan, hingga saat ini sektor hulu migas tidak bergerak cepat karena harga minyak turun. Hal tersebut tergambar dari produksi minyak yang terus turun.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, lifting minyak tahun lalu hanya 830.000 barel oil per day (bopd) dan tahun ini hanya ditargetkan mencapai 820.000 bopd.

Hingga pertengahan Oktober 2016, rata-rata produksi minyak hanya mencapai 834.600 bpod dan gas mencapai 6.900 mmscfd. "Kami berharap lifting sampai akhir tahun itu bisa sampai 820.000 bopd," kata Taslim Yunus, Kepala Humas SKK Migas, Jumat (21/10).

Taslim juga menyebutkan, dengan penurunan harga minyak saat ini, maka pendapatan negara dari sektor migas tidaklah maksimal. Seperti diketahui, target harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 mencapai US$ 40 per barel. Sementara rata-rata harga minyak baru mencapai US$ 38 per barel.

"Kami belum mencapai harga minyak di batas US$ 40 per barel. Sementara di APBN harga acuan US$ 40 per barel. Tapi sampai hari ini average price US$ 38 per barel. Hal ini berakibat pada target penerimaan negaranya belum tercapai," jelas Taslim.

Regulasi belum kelar

Di luar hal tersebut, Wiratmaja mengakui, aturan sektor migas juga belum kondusif bagi industri hulu migas. "Kalau revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 lahir, kami harapkan kita akan maju lagi," imbuh Wiratmaja. Asal tahu saja, PP No 79 mengatur soal cost recovery migas.

Di sisi lain, perizinan sektor hulu migas telah dipangkas dari 146 izin, hingga saat ini cukup enam izin saja. "Dulu kan rencananya perizinan jadi tiga, tapi hanya bisa enam. Kalau jadi tiga perizinan harus mengubah undang-undang, kata Wiratmaja.

Selain soal kebijakan, Satya Widya Yudha, anggota Komisi VII DPR RI menyebutkan, kebijakan Jokowi membubarkan Petral, anak usaha Pertamina juga pantas diapresiasi. "Upaya penyederhanaan izin juga patut diapresiasi," ujar Satya, Minggu (23/10).

Namun di sisi lain, Satya menilai implementasi kebijakan Jokowi di sektor migas juga belum optimal, seperti program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Masalah ini tak lepas dari penyaluran gas dalam negeri yang terkendala minimnya infrastruktur. Alhasil, masih banyak gas yang diekspor.

"Jika Indonesia beralih ke BBG, infrastruktur gas untuk publik harus menjadi prioritas. Tanpa infrastruktur yang memadai, konversi tak berjalan baik," imbuh Satya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×