Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dupla Kartini
Taslim juga menyebutkan, dengan penurunan harga minyak saat ini, maka pendapatan negara dari sektor migas tidaklah maksimal. Seperti diketahui, target harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 mencapai US$ 40 per barel. Sementara rata-rata harga minyak baru mencapai US$ 38 per barel.
"Kami belum mencapai harga minyak di batas US$ 40 per barel. Sementara di APBN harga acuan US$ 40 per barel. Tapi sampai hari ini average price US$ 38 per barel. Hal ini berakibat pada target penerimaan negaranya belum tercapai," jelas Taslim.
Regulasi belum kelar
Di luar hal tersebut, Wiratmaja mengakui, aturan sektor migas juga belum kondusif bagi industri hulu migas. "Kalau revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 lahir, kami harapkan kita akan maju lagi," imbuh Wiratmaja. Asal tahu saja, PP No 79 mengatur soal cost recovery migas.
Di sisi lain, perizinan sektor hulu migas telah dipangkas dari 146 izin, hingga saat ini cukup enam izin saja. "Dulu kan rencananya perizinan jadi tiga, tapi hanya bisa enam. Kalau jadi tiga perizinan harus mengubah undang-undang, kata Wiratmaja.
Selain soal kebijakan, Satya Widya Yudha, anggota Komisi VII DPR RI menyebutkan, kebijakan Jokowi membubarkan Petral, anak usaha Pertamina juga pantas diapresiasi. "Upaya penyederhanaan izin juga patut diapresiasi," ujar Satya, Minggu (23/10).
Namun di sisi lain, Satya menilai implementasi kebijakan Jokowi di sektor migas juga belum optimal, seperti program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Masalah ini tak lepas dari penyaluran gas dalam negeri yang terkendala minimnya infrastruktur. Alhasil, masih banyak gas yang diekspor.
"Jika Indonesia beralih ke BBG, infrastruktur gas untuk publik harus menjadi prioritas. Tanpa infrastruktur yang memadai, konversi tak berjalan baik," imbuh Satya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News