kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

ILO sebut konsumen pakaian jadi kini lebih peduli isu ketenagakerjaan


Jumat, 04 Oktober 2019 / 15:02 WIB
ILO sebut konsumen pakaian jadi kini lebih peduli isu ketenagakerjaan


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - SEMARANG. Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya pemenuhan hak-hak pekerja, praktik konsumerisme etis menjadi tren yang menandai perilaku konsumen dalam membeli produk.

Di tengah-tengah tren ini, konsumen diyakini lebih menyukai produk-produk pakaian jadi dari produsen pakaian ataupun brand yang dipercaya menghormati hak-hak pekerja dalam menjalankan praktik bisnisnya.

Hal ini selanjutnya mempengaruhi pertimbangan brand-brand pakaian jadi internasional dalam menyeleksi suplier pakaian jadi untuk produk mereka.

“Para buyer (brand pakaian jadi) kini menjadi lebih lebih berhati-hati dalam membeli produk pakaian jadi karena konsumen akhir-akhir ini menjadi lebih sadar akan isu ini,“ ujar Direktur International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia dan Timor Leste, Michiko Miyamoto di sela-sela kunjungan ke Ungaran Sari Garments, Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (4/10).

Baca Juga: Beda Keinginan, Penetapan Upah Tahun 2020 Bakal Alot premium

Sejalan dengan pandangan tersebut, beberapa temuan survei menunjukkan bahwa perilaku konsumen di sejumlah negara memang dipengaruhi oleh pertimbangan etis.

Hasil temuan survei yang dilakukan oleh sebuah market intelligence bernama Mintel pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 56% konsumen di Amerika Serikat menyatakan akan berhenti melakukan pembelian terhadap produk dari brand-brand yang diyakini menyalahi standar-standar etis.

Sebanyak 27% di antaranya bahkan menyatakan akan tetap menghentikan pembelian produk dari brand yang menyalahi standar etis meski produk alternatif yang tersedia memiliki kualitas lebih rendah.

Lebih lanjut, sebanyak 35% dari responden bahkan menyatakan akan tetap menghentikan pembelian meskipun barang substitusi tidak tersedia di pasaran. Artinya, aspek etika menjadi pertimbangan yang lebih utama dibanding aspek kualitas bagi sejumlah konsumen.

Baca Juga: Buruh tolak kenaikan upah berdasarkan PP 78/2015

Hasil yang serupa juga dapat ditemui dalam temuan survei yang dilakukan Statista pada tahun 2018. Berdasarkan temuan tersebut, sebanyak 88% konsumen di Amerika Serikat menyatakan akan memboikot brand yang diyakini melakukan praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.

Sebaliknya, sebanyak 87% responden mengungkapkan akan membeli produk-produk dari perusahaan yang menyuarakan isu-isu yang juga menjadi perhatian konsumen.

Tidak hanya di Amerika Serikat, kecenderungan yang sama juga dijumpai di belahan wilayah lain seperti misalnya Birtania Raya.




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×