kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Implementasi penyerapan gas industri US$ 6 mmbtu masih mengalami sejumlah kendala


Kamis, 25 Maret 2021 / 20:55 WIB
Implementasi penyerapan gas industri US$ 6 mmbtu masih mengalami sejumlah kendala
ILUSTRASI. Karyawan?PGN meninjau utilisasi gas yang digunakan pada sebuah industri.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi penyerapan gas industri US$ 6 mmbtu masih alami sejumlah kendala. Mulai dari tidak sinkronnya data hingga belum meratanya pasokan gas seharga US$ 6 mmbtu ke seluruh pelaku industri yang seharusnya menerima. 

Seperti diketahui, dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, ada tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus US$ 6 mmbtu yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet. 

Sekretaris Jendral Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas), Fajar Budiono menjelaskan lewat hasil dari pertemuan asosiasi industri dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas, diketahui terjadi ketidaksinkronan data antara pengguna dan pemasok gas di luar PGN. Padahal dari sisi industri, kebutuhan gas masih kurang, namun data di Kementerian ESDM malah menunjukkan gas tersebut tidak terserap. 

Secara umum, kebutuhan gas US$ 6/mmbtu di sektor petrokimia justru cenderung kurang. Hal ini disebabkan pasokan gas di  Jawa Timur terkendala karena salah satu penghasil gas hulu di sana mengalami masalah. 

Baca Juga: Industri keramik akui sudah maksimal menyerap gas industri US$ 6/mmbtu

Oleh karenanya, industri di Jawa Timur beberapa bulan belakangan dipaksa untuk take out pay karena hanya 75% kebutuhan industri dipasok dengan harga gas US$ 6/mmbtu  dan sisanya menggunakan harga di rentang US$ 9/mmbtu hingga  US$ 15 dolar/mmbtu. "Adapun untuk industri petrokimia di Jawa Barat, penggunaan gas US$ 6/mmbtu sudah 100% berjalan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/3). 

Penyerapan gas industri US$ 6/mmbtu ini cukup beragam di masing-masing sektor industri karena ada perusahaan yang harus melakukan penyesuaian penggunaan gas karena melakukan efisiensi atau justru sedang ekspansi sehingga membutuhkan gas lebih banyak

Adanya ketidaksinkronan data antara pemerintah dengan industri, akhirnya diambil jalan tengah dengan cara pelaku industri harus melakukan pendataan ke Kementerian Perindustrian lewat Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) setiap bulan dan pertiga bulan. 

Data yang harus disetor per bulan adalah laporan realisasi penyerapan gas dan pertiga bulan melaporkan proyeksi konsumsi gas tiga bulan ke depan. "Cara ini dilakukan supaya data yang simpang siur ini bisa dicari penyebabnya," kata Fajar. 

Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto memaparkan saat ini belum semua pelaku industri keramik mendapatkan harga gas yang setara. Hal ini terjadi pada  pelaku industri keramik di Jawa Timur.

Edy menjelaskan sudah hampir setahun sejak implementasi Kepmen ESDM No 89K/2020, industri keramik di Jawa Timur baru mendapatkan harga gas US$ 6/mmbtu sebesar 66% dari kontrak gas sesuai Kepmen. Artinya 34% pasokan gas masih dikenai harga gas lama yakni U$ 7,98/mmbtu. Adapun jika dirata-rata harga gas industri di Jawa Timur sebesar US$ 6,5/mmbtu. Sedangkan, harga gas di Jawa Barat sudah US$ 6/mmbtu. 

Menurut Edy, masalah ini terjadi karena ada sebagian produsen gas hulu di Jawa Timur yang belum siap memberikan harga gas US$ 6/mmbtu sehingga PGN sebagai supplier terpaksa membebankannya ke industri. Adapun hal ini sudah berjalan cukup lama sehingga Asaki meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali. 

"Hal ini tentunya sangat membebani industri keramik di Jatim apalagi di tengah gencarnya impor produk keramik dari China, India dan Vietnam," kata Edy. 

Di luar dari harga gas yang belum merata, pelaku industri keramik di Jawa Timur juga mendapat masalah lain yakni gangguan pasokan gas sejak beberapa bulan terakhir. Jadi  industri hanya diperbolehkan menggunakan 75% dari total kontrak Perjanjian Jual Beli Gas  (PJBG) PGN.  

"Hal ini memaksa industri keramik yang produksi penuh atau memakai lebih, otomatis harus membayar 25% pemakaian gas tersebut dengan harga  surcharge US$15/mmbtu. Sudah jatuh tertimpa tangga nasib industri keramik di Jatim," ungkap Edy. 

Tentu masalah ini membuat industri keramik di Jawa Timur tidak berdaya saing dengan sesama industri lokal, di Jawa Barat. "Jangankan sama India dan China, industri keramik di Jawa Timur sudah kehilangan daya saing di lokal karena perbedaan harga gas karena kontribusi gas ke biaya produksi 30%-35%," jelasnya. 

Baca Juga: Ini penyebab pemerintah bakal eveluasi insentif gas US$ 6 per MMBTU untuk industri

Mengenai penyerapan gas, Edy menjelaskan sesuai dengan data utilisasi pabrik keramik secara nasional, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan pada kuartal I 2021 (menurut data dari anggota Asaki saat ini) utilisasi sudah mencapai 75% atau tertinggi sejak 2015. 

"Artinya, tingkat utilisasi yang terus meningkat ini mencerminkan penyerapan gas secara maksimal. Untuk Asaki kami sudah on track. Buktinya, di tengah pandemi Covid-19 kami membuktikan komitmen untuk  memanfaatkan stimulus tersebut sehingga penyerapan gas dan kinerja produksi menjadi lebih baik dari sebelum adanya stimulus dijalankan," jelasnya kepada Kontan.co.id, dihubungi terpisah. 

Kendala yang sama juga turut dirasakan pelaku industri di sektor kaca lembaran. Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menjelaskan alokasi gas di Kepmen ESDM 89-K/2020 ditetapkan sebagai batas maksimum dalam kontrak antara industri dengan pemasok, kalau penyerapannya lebih maka kena surcharge

"Otomatis, penyerapan harus diperhitungkan dan diatur internal sedemikian rupa agar surcharge yang sangat mahal tersebut tidak terjadi," jelasnya. 

Yustinus mencontohkan, ada satu pabrik kaca lembaran di Sidoarjo Jawa Timur dengan kapasitas terpasang 600.000 ton/tahu yang juga anggota dari AKLP,  realisasi pasokan gas dari PGN Jawa Timur ke pabrik tersebut sejak April 2020 hingga Februari 2021 hanya 64,3% dari volume alokasi dalam Kepmen ESDM 89-K/2020. Padahal penyerapan atau realisasi penggunaan gas bumi yang dibutuhkan lebih besar sekitar 15%. Maka dari itu,  pabrik kaca lembaran tersebut harus membayar surcharge lebih mahal. 

Adanya perbedaan realisasi harga gas industri, menyebabkan terciptanya persaingan usaha yang tidak sehat karena pabrik-pabrik kaca lembaran di Jawa Barat yang dipasok oleh PGN Jawa Barat dapat menikmati harga US$ 6 mmbtu sesuai dengan Kepmen ESDM 89/2020. 

Adapun saat ini secara umum, utilisasi industri kaca lembaran dan pengaman hampir mencapai 90% terhadap kapasitas terpasang. Yustinus bilang, meski sudah sangat maksimal, industri bisa meningkatkan produktivitas dengan beberapa modifikasi. Menurutnya di saat seperti ini, utilisasi tinggi sangat membantu pemulihan operasional pabrik, baik dari segi teknis karena tungku bisa dioperasikan dengan maksimal maupun memulihkan daya saing ekspor. Tentunya, dapat memperbaiki cash flow yang drop sewaktu pandemi. 

Di industri pupuk, penyerapan gas industri tetap stabil sesuai dengan kebutuhan. Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia,  Achmad Tossin menjelaskan industri pupuk  menyerap gas sudah sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pabrik. "Kecuali ada tambahan ekspansi pabrik atau pabrik dimatikan, tetapi sepanjang produksi normal pemakaian (gas) sesuai dengan kebutuhan saja," kata Achmad. 

Menurutnya, karakter industri pupuk tidak sensitif terhadap  pemakaian gas. Adapun industri pupuk diakui tetap stabil meskipun di tengah pandemi sekalipun. 

Selanjutnya: Gas seharga US$ 6 per MMBTU untuk sektor industri baru terserap 61%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×