Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan impor mobil listrik berbasis baterai alias Battery Electric Vehicle (BEV) secara utuh atau Completely Built Up (CBU) hanya berlaku sampai dengan akhir tahun ini. Artinya, mulai tahun 2026 para pabrikan sudah harus memproduksi BEV di dalam negeri.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono menegaskan belum ada pembahasan dari kementerian atau lembaga terkait mengenai kelanjutan insentif impor untuk BEV.
"Bisa kita asumsikan karena sampai hari ini belum ada diskusi atau rapat, sehingga insentif ini sudah akan berakhir sesuai dengan regulasi yang ada," kata Mahardi dalam diskusi Forum Wartawan Industri mengenai Polemik Insentif BEV Impor, Senin (25/8).
Baca Juga: Inilah Faktor yang Mempengaruhi Harga Jual Kembali Mobil Listrik di Indonesia
Mahardi membeberkan, sejumlah merek pabrikan mobil listrik menikmati insentif dalam bentuk impor BEV dengan komitmen investasi. Insentif ini merujuk pada Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023, juncto Nomor 1 Tahun 2024.
Melalui beleid tersebut, sejak Februari 2024 sejumlah merek BEV menerima insentif bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Namun, ada persyaratan bank garansi pada setiap impor CBU. Selain itu, ada komitmen investasi untuk memproduksi di dalam negeri dengan rasio 1:1.
Artinya, setiap satu unit BEV yang diimpor, pabrikan tersebut mesti memproduksi satu unit di dalam negeri dengan tipe dan jenis yang sama. Batas waktu importasi atau berakhirnya program insentif impor ini akan berlangsung pada 31 Desember 2025.
Kemudian, pada 1 Januari 2026 - 31 Desember 2027 para pabrikan penerima insentif impor mesti melunasi komitmen produksi 1:1 sesuai dengan roadmap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Besaran TKDN ditargetkan naik bertahap dari 40% pada 2026 menjadi 60% pada 2027, lalu meningkat ke level 80% pada 2030.
Komitmen Investasi
Mahardi menjelaskan, batas waktu permohonan usulan insentif impor BEV ini sudah berakhir pada 31 Maret 2025. Berdasarkan data dari Kemenperin, Terdapat enam perusahaan yang mengikuti program insentif CBU dengan total rencana penambahan investasi sekitar Rp 15 triliun serta rencana penambahan kapasitas produksi sebesar 305.000 unit.
Dari enam perusahaan tersebut, dua perusahaan melakukan kerja sama perakitan dengan assembler local (PT Geely Motor indonesia dan PT Era Industri Otomotif), dua perusahaan melakukan perluasan kapasitas produksi (PT National Assemblers dan PT Inchcape Indomobil Energi baru), dan dua perusahaan membangun pabrik baru (PT BYD Auto Indonesia dan PT Vinfast Automobile Indonesia).
Sebagai informasi, PT National Assemblers menaungi merek Citroen, AION, Maxus, VW. Kemudian, PT Inchcape Indomobil Energi Baru menaungi merek GWM Ora, serta PT Era Industri Otomotif untuk merek Xpeng.
Baca Juga: Harga Mobil Listrik Bekas Turun Drastis, Bagaimana Harga Mobil Bekas Konvensional?
Secara keseluruhan, saat ini Indonesia memiliki 82 perusahaan yang bergerak di industri perakitan kendaraan listrik. Terdiri dari tujuh pabrikan bus listrik dengan kapasitas produksi 3.100 unit per tahun, sembilan pabrikan mobil listrik berkapasitas produksi 70.060 unit per tahun, dan 66 perusahaan motor listrik (roda dua dan tiga) berkapasitas produksi hingga 2,37 juta unit per tahun.
Mahardi membeberkan, populasi kendaraaan listrik naik signifikan, setidaknya dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2019, populasi kendaraan listrik baru menyentuh 1.437 unit. Pada tahun 2023, jumlahnya melejit ke level 116.439 unit.
Setahun berselang, jumlah kendaraan listrik naik sekitar 78% menjadi 207.478 unit pada tahun 2024. Hingga Juni 2025, populasi kendaraan listrik sudah melejit ke level 274.802 unit.
Menurut Mahardi, lonjakan populasi kendaraan listrik ini tak lepas dari dorongan berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah. "Peningkatan ini terjadi seiring dengan pemberlakuan insentif atau kebijakan terkait percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik," kata Mahardi.
Catatan Terhadap Impor BEV
Namun, lonjakan populasi kendraan listrik tak sepenuhnya berdampak baik. Sorotan timbul terhadap insentif impor BEV. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan pengamat otomotif memberikan catatan terhadap kebijakan tersebut.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyoroti persaingan antara BEV impor dengan mobil yang diproduksi di dalam negeri, termasuk mobil konvensional dengan TKDN yang sudah mencapai 80%-90%. Sebagian jenis BEV impor dan mobil dengan TKDN tinggi bersaing pada segmen pasar dengan rentang harga yang relatif sama, di bawah Rp 400 juta.
"(Penjualan mobil) yang TKDN tinggi tertekan, makin turun. Sementara muncul yang TKDN rendah, volume (penjualan) meningkat. Ini akan mengganggu keseimbangan industri di dalam negeri," ungkap Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri mengenai Polemik Insentif BEV Impor, Senin (25/8).
Kukuh mengingatkan, kondisi ini bisa membawa dampak turunan terhadap ekosistem industri otomotif di dalam negeri. Terutama bagi industri komponen otomotif. Dus, Kukuh menegaskan bahwa adopsi teknologi kendaraan listrik mesti beriringan dengan penguatan industri di dalam negeri.
"BEV iya, pemerintah berhasil meningkatkan adopsi (teknologi EV). Tapi secara bersamaan kita perlu memikirkan industri eksisting, jadi harus tumbuh secara bersamaan," imbuh Kukuh.
Baca Juga: Harga Mobil Listrik Bekas Turun Tajam, Ioniq 5 Terparah
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI, Riyanto turut mengingatkan impor BEV dalam bentuk CBU tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi industri di dalam negeri. "Dampak ekonomi hanya terjadi melalui sektor perdagangan saja. Multiplier effect-nya jauh lebih kecil dibandingkan dengan BEV produksi lokal," ungkap Riyanto.
Riyanto menyoroti, insentif impor BEV juga terkesan memberikan perlakuan yang tidak adil terhadap pabrikan mobil EV yang telah terlebih dulu berinvestasi dan membangun pabrik di dalam negeri. Dus, Riyanto menyarankan agar pemerintah tidak memperpanjang insentif BEV impor, atau hanya sampai akhir tahun 2025 sesuai dengan aturan saat ini.
"(Kalau dilanjutkan) tidak fair untuk mereka yang sudah terlanjur investasi di Indonesia. Saya melihat harusnya berhenti di 2025 dan pemerintah secara konsisten (merealisasikan komitmen) 1:1, di tahun 2026 harus sudah mulai produksi di dalam negeri," terang Riyanto.
Kukuh menambahkan, adopsi kendaraan dengan bahan bakar ramah lingkungan untuk menekan tingkat emisi perlu dilakukan secara bertahap. Pemerintah dan pelaku industri pun mesti bersiap dengan perkembangan tren dan teknologi yang bergerak dinamis.
Menurut Kukuh, mobil jenis hybrid bisa menjadi jembatan dalam transisi tersebut. Apalagi, penggunaan mobil hybrid juga menjadi tren di sejumlah negara, termasuk di China yang melakukan refocus untuk mengembangkan mobil hybrid.
"Nah, kalau kita bisa in line, akan menarik. Karena (hybrid) industrinya kurang lebih juga mengandalkan (industri) konvensional yang sudah ada. Walaupun insentifnya sedikit, (mobil hybrid) peminatnya juga banyak," imbuh Kukuh.
Selanjutnya: Begini Cara Reset PIN BCA Bila Terblokir Sistem di Tahun 2025
Menarik Dibaca: Begini Cara Reset PIN BCA Bila Terblokir Sistem di Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News