Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kekeringan mulai melanda sejumlah wilayah di Indonesia dan mulai mengganggu produktivitas padi yang masa tanamnya bisa mencapai tiga kali setahun.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menyatakan, musim kemarau panjang ini sangat mungkin mengancam kedaulatan pangan.
Pasalnya, kemarau panjang telah membuat paceklik di banyak tempat di Pulau Jawa. Padahal, salah satu pulau utama di Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total luas lahan pertanian di Indonesia.
“Ada risiko gagal panen yang lebih besar. Kekeringan itu akan menyebabkan harusnya produksinya satu ton, ini jadi setengahnya. Makin jauh dari optimal,” ucapnya kepada wartawan, Rabu (10/10).
Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektare tiap tahunnya. Di mana kekeringan tersebut sangat mungkin menimpa 28 provinsi yang ada di Nusantara.
Sementara itu Akademisi dari Fakultas Pertanian UGM Andi Syahid Muttaqin mengatakan, kondisi musim kemarau di Indonesia pada tahun ini memang sangat unik.
Bagian utara Khatulistiwa memang tidak mengalami musim kemarau berkepanjangan. Bahkan saat ini sudah memasuki musim hujan.
Namun, daerah selatan Indonesia yang dekat dengan Australia justru mengalami musim kemarau dengan tingkat yang parah dan lama. Hal ini tak terlepas dari fenomena alam berupa Munson India.
“Munson India itu pengaruhnya ke musim kemarau Indonesia. Saya pantau, indeks Munson India itu tahun ini lebih kuat dari normalnya. Normalnya 10 mps, tahun ini mencapai 15 mps, bahkan ada yang sampai 17 mps,” tutur pakar agroklimatologi ini.
Parah dan panjangnya musim kemarau di 2018 pada akhirnya berimbas ke produksi tanaman pangan, khususnya padi. Soalnya kemarau berimbas mulai dari mengeringnya sumber air yang tampak hingga berkurang drastisnya kandungan air dalam tanah.
Ia memperkirakan musim kemarau panjang karena Munson India ini bisa berakhir di 10 harian pertama bulan November. Sayangnya, di saat bersamaan, pada waktu yang sama sudah muncul siklus El Nino yang mengurangi intensitas curah hujan, dibandingkan musim-musim hujan yang lalu.
“Hujannya akan lebih tipis. Ada El Nino yang kira-kira terjadi November sampai Maret 2019 nanti,” ungkapnya lagi.
Heri Firdaus meminta pemerintah bisa mengantisipasi kondisi ini. Dengan rentetan musim kemarau yang dilanjutkan El Nino, pertanian pangan bisa makin terdampak.
Soalnya November hingga Maret biasanya merupakan masa tanam hingga panen raya pertama untuk padi.
Selain faktor cuaca, produksi pangan juga masih harus mengahadapi risiko kurangnya sarana dan prasarana yang bisa menunjang produktivitas pertanian. Salah satunya adalah kurangnya saluran irigasi yang memadai di Indonesia.
Berdasarkan data tahun 2014 luas lahan pertanian yang memiliki sumber air dari irigasi hanya sekitar 797,97 ribu hektare.
Angka ini hanya 11 % dari total lahan pertanian di Indonesia yang mencapai 7,23 juta hektare. Bahkan sampai 2019, diproyeksikan luasan lahan pertanian yang bisa teraliri air dari irigasi hanya 20 % dari total luas lahan pertanian nasional.
Padahal menurut Heri, irigasi menjadi salah satu infrastruktur yang urgen dalam pembangunan pertanian.
Ini khususnya untuk tanaman pangan seperti padi dan jagung yang memiliki beberapa masa tanam dan panen dalam setahun. Sebab sangat mungkin, masa tanam tiba ketika bukan musim penghujan.
“Jadi memang posisi irigasi stanby bisa digunakan setiap saat. Tapi kalau cuma 20 % adanya, ini bisa mengganggu produktivitas,” tutur peneliti ini lagi.
Namun, masalah irigasi yang tidak sampai 20 % mengaliri sawah Indonesia tampaknya tak masuk hitungan risiko Kementerian Pertanian (Kemtan).
Direktur Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan Bambang Sugiharto beralasan, ini karena rata-rata lahan sawah di Indonesia memiliki sumber airnya sendiri tanpa harus bergantung kepada sistem irigasi. “Itu kan hanya sistem pengairannya saja,” serunya.
Mengenai kemarau panjang yang telah menyebabkan banyak kekeringan di berbagai wilayah, Bambang pun menegaskan, hal ini tidak akan membuat produktivitas tanaman pangan, khususnya padi, menjadi berkurang drastis.
“Kalau mengganggu produksi, ya mungkin sedikit, tapi tidak mengganggu kecukupan pangan kita,” ungkap Bambang.
Apalagi menurutnya, kekeringan karena kemarau lebih banyak terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu, kawasan utara Khatulistiwa seperti Sumatra masih aman. Bahkan daerah tersebut sudah memasuki musim penghujan.
“Di kawasan utara Khatulistiwa, musim hujannya berkebalikan dengan di Jawa. Meskipun kekeringan di Jawa nih, di Aceh banjir, Sumatra Utara banjir,” tuturnya. (Sanusi)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul INDEF: Kekeringan Berpotensi Gerus Setengah Produksi Pangan Nasional,
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News