kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.926.000   -27.000   -1,38%
  • USD/IDR 16.539   -39,00   -0,24%
  • IDX 6.845   17,22   0,25%
  • KOMPAS100 989   0,80   0,08%
  • LQ45 766   2,60   0,34%
  • ISSI 219   0,42   0,19%
  • IDX30 397   1,64   0,41%
  • IDXHIDIV20 467   0,80   0,17%
  • IDX80 112   0,37   0,33%
  • IDXV30 115   0,32   0,28%
  • IDXQ30 129   0,41   0,31%

Indonesia Kaya Bahan Baku Rotan, Miskin Produk Olahan Rotan


Kamis, 02 Juli 2009 / 07:36 WIB


Sumber: KONTAN |

JAKARTA. Indonesia merupakan penghasil rotan mentah terbesar di dunia. Sekitar 80% produksi rotan dunia dihasilkan dari hutan-hutan di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Sumatera hingga Papua. Namun sayangnya, meski kaya akan bahan baku, industri olahan rotan dalam negeri justru bernasib sebaliknya. Berbagai persoalan di dalam negeri dan krisis membuat industri olahan rotan kita kian terpuruk.

Salah satu buktinya, nilai ekspor produk olahan rotan terus merosot dari tahun ke tahun. Ambil contoh, nilai ekspor produk keranjang rotan dan sejenisnya turun dari US$ 27,04 juta pada tahun 2007 menjadi US$ 19,22 juta di tahun 2008. Nilai ekspor kursi dan perabot rumah tangga rotan juga merosot dari US$ 155,16 juta di 2007 menjadi US$ 106,06 juta di 2008.

Nilai ekspor yang terus menyusut membuat banyak produsen olahan rotan bertumbangan. Kalau tahun 2007 masih terdapat 614 unit usaha pengolahan rotan di tanah air, pada 2008, hanya tinggal 234 unit usaha yang tersisa.

Sebagian pengusaha pengolah rotan menuding SK Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan sebagai salah satu penyebab persoalan mereka. Sebab, lewat aturan itu, pemerintah membuka keran ekspor rotan mentah.

Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra menyebut, produksi perajin olahan rotan semakin rendah sejak ekspor rotan mentah dibuka. Maklum, kebijakan ini membuat perajin rotan kesulitan bahan baku.

"Produsen lebih memilih ekspor rotan, karena dari segi harga lebih menguntungkan," ujar Hatta. Akibatnya, selain langka, harga rotan mentah pun menjadi naik. Jika sebelumnya perajin cukup menebus rotan mentah sekitar Rp 13.000 per kilogram (kg), kini mereka harus membeli seharga Rp 17.000 per kg.

Wakil Ketua Asosiasi Produsen Rotan Indonesia (APRI) Julius Hoesan membantah tudingan ini. Menurutnya yang terjadi selama ini, perajin hanya mencari rotan dengan jenis dan ukuran tertentu. Barang inilah yang tidak bisa mereka sediakan. "Jika kami harus mencari rotan untuk kemudian diambil varian tertentu dalam jumlah sedikit, varian lainnya yang ikut terambil akan terbuang," ujarnya.

Kenyataannya, nilai ekspor rotan mentah Indonesia terus meningkat, yakni dari US$ 24,10 juta pada 2007 menjadi US$ 27,94 juta di tahun 2008. Ekspor rotan periode Januari-April 2009 juga telah mencapai US$ 7,36 juta, meningkat dari US$ 7,20 juta pada periode yang sama 2008.

Kalah bersaing

Kini, sebagian perajin rotan bilang, pasokan bahan baku telah mulai lancar. A. Sholihin, pemilik Latansa Rattan di Cirebon, misalnya, mengaku tak menghadapi persoalan bahan baku lagi. "Tapi, yang terjadi sekarang permintaan terus turun," imbuhnya. Banyak pembeli di negara-negara tujuan ekspor utama seperti Eropa dan Amerika Serikat menunda atau membatalkan pesanan.

Selain itu, perajin Indonesia juga harus bersaing dengan perajin rotan asal China dan Vietnam yang kadang berani menawarkan harga lebih murah. Padahal, mereka mendatangkan sebagian besar bahan baku rotan dari Indonesia.

"Jadinya ekspor menyusut, dulu saya bisa mengirim 10 kontainer sebulan, kini tinggal 5 kontainer," keluh Sholihin.

Eny Tirtawidjaya, pemilik usaha furnitur berbahan rotan Perfecto asal Cirebon juga mengeluhkan hal yang sama. "Order saya turun drastis, kalau tahun 2002 ekspor saya bisa 1.500 sampai 2.000 kontainer per bulan, sejak tahun 2009 hanya sekitar 500-1.000 kontainer," bebernya.

Menurut Enny, sebenarnya industri rotan masih bisa berkembang. Hanya saja, modal para perajin terbatas. "Untuk memenuhi pesanan 5 kontainer saja, setidaknya perajin butuh modal ratusan juta rupiah untuk membeli bahan baku," bebernya.

Masalahnya, perajin kesulitan memperoleh utang dari bank. Sebab, kalangan perbankan memasukkan industri rotan dalam kategori sunset industry sejak 2005 silam. "Industri rotan dianggap tidak punya prospek dibandingkan bisnis lainnya," ujar Enny.

Alhasil, perajin terpaksa meminjam modal dari pihak lain yang mengenakan bunga yang sangat tinggi. Karena pesanan merosot, banyak dari mereka yang kesulitan membayar utang dan terpaksa gulung tikar. "Jadi bukan hanya karena bahan baku," tandas Enny.

Berbagai persoalan itu memaksa para perajin rotan mengganti sebagian bahan baku dengan bahan selain rotan. "Dulu produk olahan mebel rotan saya mencapai 100%, sekarang hanya 10% saja. Ini cara supaya bisnis tetap jalan," papar Hatta.

Lain lagi cara Enny. Sekarang ia lebih selektif memilih buyer. "Saya hanya terima kalau pembeli telah memberi uang muka 50%," tandasnya.

Tentu saja, para perajin berharap, pemerintah juga memproteksi mereka. "Caranya bisa memberikan pelatihan manajemen hingga membuka pasar," saran Hatta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×