CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.466.000   -11.000   -0,74%
  • USD/IDR 15.860   -72,00   -0,46%
  • IDX 7.215   -94,11   -1,29%
  • KOMPAS100 1.103   -14,64   -1,31%
  • LQ45 876   -10,76   -1,21%
  • ISSI 218   -3,03   -1,37%
  • IDX30 448   -5,87   -1,29%
  • IDXHIDIV20 540   -6,91   -1,26%
  • IDX80 126   -1,77   -1,38%
  • IDXV30 135   -1,94   -1,41%
  • IDXQ30 149   -1,85   -1,22%

Indonesia ketinggalan 65 tahun di industri gadget


Rabu, 01 Oktober 2014 / 14:22 WIB
Indonesia ketinggalan 65 tahun di industri gadget
ILUSTRASI. Mitratel di sepanjang tahun 2022 lalu mencatatkan pertumbuhan kinerja finansial yang kuat dan berkelanjutan


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Indonesia tertinggal 65 tahun dari negara maju dalam pengembangan hardware atau perangkat keras telekomunikasi, seperti gadget. Agar bisa mencuil kue ekonomi industri digital, Indonesia disarankan untuk lebih mengembangkan industri software atau perangkat lunak dibanding hardware.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan, negara maju seperti Jepang, Korea, dan Amerika Serikat (AS) telah menjadi bukti besarnya kue ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi (ICT). "Belanja ICT secara total, seperti PC, laptop, dan handphone di Indonesia mencapai Rp 200 triliun per tahun," katanya kepada KONTAN, Senin (29/9). 

Indonesia tidak akan bisa mencicipi kue ekonomi industri digital tersebut jika kemudian hanya fokus pada produksi perangkat keras. Menurut Nonot, pengembangan industri perangkat lunak, seperti aplikasi, konten, animasi, dan permainan (games), akan lebih mudah dikejar. Selain aplikasi, industri penunjang digital seperti earphone dan aksesorisnya juga berpeluang untuk dikembangkan. 

Pengembangan industri kreatif dalam pembuatan aplikasi dinilai lebih menguntungkan. Sebab, sebanyak 70%-80% harga jual sebuah gadget seperti smartphone di pasaran adalah software. Sedangkan nilai perangkat kerasnya hanya 20%-30%. "Namun untuk itu perlu adanya dukungan yang kuat dari industri, kampus, dan regulasi. Saat ini sepertinya jembatan dari kampus ke industri, terputus," katanya.

Pengembangan industri perangkat lunak, menjadi salah satu upaya agar Indonesia tidak hanya menjadi target pasar globalisasi online. Globalisasi online, menurut Nonot, menjadi salah satu penyebab defisit neraca transaksi berjalan atau current account defisit (CAD). Sebab nantinya, perusahaan over the top (OTT), seperti Google, Microsoft, Yahoo! dan Facebook-lah yang akan mengeruk keuntungan. 

Nonot menjelaskan, selama ini keuntungan yang didapat dari penggunaan aplikasi seperti Whatsaap, Skype, dan media sosial lain di Indonesia tidak pernah dinikmati oleh negara dalam bentuk pajak. Padahal mereka jelas-jelas berbisnis dan menghasilkan keuntungan di Indonesia.

"Untuk Whatsaap kita harus membayar US$ 1 per tahun, sedangkan Skype untuk bisa digunakan penuh perlu deposit US$ 10," katanya. Nilai perdagangan dari penjualan buku digital dan aplikasi lain, nilainya juga sangat besar. Dia menyebut pada tahun 2013, operator selular di Indonesia menyetorkan uang Rp 2,3 triliun ke perusahaan aplikasi di luar negeri.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×