Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Selain menjadi eksportir minyak atsiri, Indonesia juga menjadi importir ekstrak minyak yang berasal dari tumbuhan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, nilai impor minyak atsiri periode Januari - Februari tahun 2011 mencapai US$ 93,4 juta.
Nilai impor tersebut setara naik 1,98% dibandingkan dengan nilai impor pada waktu yang sama tahun 2010. Tahun lalu, nilai impor minyak atsiri mencapai US$ 91,61 juta. "Ini karena kebutuhan minyak atsiri Indonesia meningkat," kata Meika Syahbana Rusli, Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) kepada KONTAN, Selasa (12/4).
Industri kosmetik lokal paling banyak membutuhkan minyak atsiri. Meika menyatakan, minyak atsiri jenis tertentu seperti minyak lavender dan minyak atsiri menthol harus impor dari sejumlah negara, di antaranya dari Prancis dan India.
Indonesia membutuhkan kedua jenis minyak atsiri tersebut untuk bahan baku. Ambil contoh, minyak atsiri dari lavender untuk bahan baku industri parfum, sementara minyak atsiri menthol digunakan untuk industri makanan, juga pasta gigi yang permintaannya terus meningkat.
Bahkan, belakangan ini, produsen pasta gigi dan kosmetik kian kreatif meluncurkan varian baru yang berbahan baku minyak atsiri dari menthol. "Jadi wajar jika ada peningkatan impor minyak atsiri," jelas Meika. Dengan kata lain, kata Meika, kebutuhan minyak atsiri itu akan mengiringi pertumbuhan penjualan parfum, kosmetik serta pasta gigi tersebut.
Togaraja Manurung, Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia (AMAI) mengatakan hal serupa, yaitu bahwa produsen atsiri lokal tidak bisa membuat atsiri jenis lavender dan menthol. Masalahnya, tanaman untuk atsiri jenis tersebut tidak bisa ditanam di negara tropis karena hanya bisa hidup di daerah subtropis dan kawasan Mediterania.
Jenis minyak atsiri yang diproduksi Indonesia antara lain berbahan baku sereh, cengkeh, nilam, dan pala. Semua jenis tanaman itu tumbuh subur di daerah tropis.
Yang menyedihkan, di saat impor minyak atsiri terus meningkat, produksi produksi minyak atsiri lokal justru menurun sejak tahun lalu. Padahal, permintaan ekspor minyak atsiri dari Indonesia cenderung meningkat. Selain permintaan ekspor meningkat, harga atsiri asal Indonesia juga naik.
Faktor utama penurunan produksi adalah cuaca buruk yang menghambat pertumbuhan tanaman bahan baku atsiri. Kalau pun tumbuh, kandungan minyaknya minim. Alhasil, produksi minyak atsiri menurun rata-rata 10% dari produksi sebelumnya. Bahkan produksi atsiri jenis pala dari Aceh turun hingga 20%. "Produksi atsiri belum pulih sejak tahun lalu," kata Meika.
DAI memperkirakan, produksi minyak atsiri tahun ini sebesar 3.500 ton. Target itu memang lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2010 sebesar 2.500 ton. "Angka itu masih di bawah produksi normal sebesar 4.000 ton per tahun," jelas Meika.
Harga minyak atsiri saat ini sedang berada di puncak. Togaraja menyatakan, harga minyak sereh mencapai US$ 17-US$ 20 per kilogram (kg), naik dari harga enam bulan lalu yang US$ 5 - US$ 6 per kg. Begitu juga dengan minyak nilam yang naik dari Rp 400.000 - Rp 450.000 per kg menjadi Rp 1 juta per kg. Harga atsiri cengkeh juga begitu, melonjak menjadi US$ 19 per kg dibandingkan harga enam bulan lalu di harga US$ 5 per kg. "Suplai menurun membuat harga tinggi," jelas Togaraja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News