Reporter: Dadan M. Ramdan, Dian Sari Pertiwi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantainya saja mencapai 81.000 kilometer persegi (km²). Wilayah lautnya meliputi 3,5 juta km² atau sekitar 64,97% dari luas total wilayah Nusantara. Dengan area laut yang begitu lebar tentunya negeri ini tak bakalan kekurangan garam. Maklum, zat berasa asin ini datangnya dari lautan. Tapi anehnya, hingga detik ini kita masih mengimpor garam.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per November 2016, impor garam sudah mencapai 2,22 juta ton. Sedangkan sepanjang 2015 lalu, impor garam sebanyak 2,39 juta ton. Keran impor garam terus diputar akibat kebutuhan yang meningkat lantaran produksi dalam negeri masih kedodoran. Tengok saja total kebutuhan garam mencapai 4,19 juta ton pada tahun ini, naik dari tahun lalu 4,03 juta ton. Adapun total produksi garam nasional 2015 hanya 2,01 juta ton. Bahkan, produksi garam nasional sampai November tahun ini hanya 556.500 ton.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mengklaim, ada 10 perusahaan pengolah garam yang memiliki total kapasitas produksi terpasang mencapai 2,4 juta ton garam konsumsi dan 780.000 ton garam aneka industri. Sekretaris AIPGI Cucu Sutara mengatakan, kapasitas pabrik pengolah garam hanya memproduksi sebanyak 1,7 juta ton garam. “Tapi industri yang perlu garam standar tinggi harus memenuhi kebutuhan dari impor karena belum bisa diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.
Memang, kebutuhan paling besar garam industri ini berasal dari industri chlor alkali plant (CAP) dan farmasi yang mencapai 2,1 juta ton pada tahun ini ketimbang 2015 yang masih 1,95 juta ton. Selama ini, garam impor didatangkan oleh PT Garam, PT Susanti Megah, PT Sumatraco Langgeng Abadi, PT Cheetam Garam Indonesia, PT Saltindo, PT Unichem, PT Budiono Bangun, dan PT Garindo Sejahtera Abadi. Namun, di antara semua industri, sektor farmasi membutuhkan garam dengan tingkat kandungan kemurnian NaCL paling tinggi atau yakni 99,8%. Selain itu, garam ini tak boleh memiliki kandungan logam.
Tercatat, saban tahun paling tidak industri farmasi kudu impor garam sebanyak 3.000 ton–6.000 ton untuk bahan baku obat, pembuatan cairan infus, dan cairan pembersih darah. Importir garam farmasi umumnya adalah perusahaan farmasi yang mengantongi izin sebagai importir produsen (IP). Dalam realisasi impor garam farmasi tahun depan, Kemperin mencatat terdapat 12 perusahaan dengan total impor sebanyak 5.923 ton. Ke-12 perusahaan tersebut antara lain PT Amerta Indah Otsuka (produsen Pocari Sweat), PT Sayap Mas, PT Sambe Farma, PT Finusolprima Farma Int, dan PT Intan Jaya Medica Solution.
Intan Jaya mendapat jatah impor garam farmasi dari Kemprin sebanyak 1.000 ton untuk tahun depan. Bahan baku tersebut untuk memproduksi sekitar 21,8 juta liter cairan. “Tahun depan kami ajukan impor sekitar 1.300 ton–1.500 ton garam farmasi,” kata Rudi Susanto, General Manager PT Intan Jaya Medica Solution. Produsen farmasi ini masih mengandalkan pasokan garam farmasi dari New Zealand. Alasannya, kualitas dan komitmen pasokan yang berkelanjutan. Harga garam farmasi Selandia Baru itu juga lebih murah ketimbang buatan Jerman. Selain itu pertimbangan jarak yang lebih dekat sehingga berpengaruh terhadap ongkos produksi.
Sayangnya, Rudi enggan menyebut bera harga bahan baku garam yang didatangkan dari dari Selandia Baru. Data dari PT Garam menyebutkan, harga garam industri di pasar domestik berada di kisaran Rp 4.000 per kilogram (kg). Sementara harga garam farmasi di dalam negeri bisa mencapai Rp 11.000–Rp 14.000 per kg. Sedangkan harga garam impor Rp 20.000–Rp 30.000 per kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News