Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri fast moving consumer goods (FMCG) di mana salah satunya adalah makanan dan minuman rupanya cukup terkena dampak COVID-19. Walau sektor ini sangat dibutuhkan masyarakat, rupanya tetap ada penurunan konsumsi di kuartal pertama 2020.
"Konsumsi rumah tangga turun 5,02% ke 2,84% selama Q1, dengan 44% berasal dari kontribusi makanan dan minuman. Padahal pengeluaran per kapita masyarakat kita 50% nya untuk pangan, dengan porsi pangan olahan mencapai 17%," ungkap Ketua Umum Gabungan Makanan & Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman saat webinar Markplus, Selasa (19/5).
Baca Juga: Langgar peraturan Gubernur DKI, sebanyak 205 perusahaan ditutup
Maka tidak heran ada koreksi prediksi pertumbuhan industri makanan dan minuman di mana tahun lalu mencapai 7,97%. Adhi memprediksi selama 2020 hanya akan tumbuh empat sampai lima persen saja, dari prediksi awal 8%.
Hal tersebut juga diamini oleh CEO Kalbe Farma Vidjongtius. Ia melihat efek pada kuartal pertama belum akan terasa dan baru akan terasa di kuartal kedua. Tidak hanya konsumsi masyarakat, tetapi juga supply produk FMCG ke Indonesia.
"Supply dari China, India, sampai Eropa tersendat. Mereka pasti mengutamakan kebutuhan dalam negeri dulu, baru ekspor. Padahal permintaan sendiri naik dua sampai tiga kali lipat di masa COVID-19, terutama produk berkaitan kesehatan. Yang biasanya stok empat sampai enam bulan, sekarang habisnya cepat sekali," ungkap Vidjongtius.
Selain penurunan konsumsi, terjadi juga pergeseran kebiasaan konsumen. Menurut Adhi Lukman, kini masyarakat lebih aware terhadap makanan organik. Channel penjualan juga mulai bergeser online. Plus karena kondisi darurat COVID-19, masyarakat juga mulai aware untuk menabung. Lalu terkait brand, di mana sekarang masyarakat tampak lebih peduli kepada fungsi dibanding nama produk.
Baca Juga: Simak upaya BNI Multifinance mempertahankan bisnis di tengah pandemi
Ini menjadi perhatian bagi Founder & Chairman MarkPlus, Inc. Hermawan Kartajaya, "Dengan kondisi seperti ini, mempertahankan brand adalah tantangan. Brand harus adaptif terhadap berbagai kondisi, termasuk COVID-19. Sekarang brand harus cepat switch ke platform online. Kalau tidak bisa adaptasi akan ditinggal konsumen," ungkap pakar marketing tersebut.