Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja industri furnitur tengah menghadapi tekanan akibat pelemahan daya beli domestik dan ketidakpastian pasar ekspor. Di tengah kondisi ini, pelaku usaha mendesak pemerintah menyiapkan insentif dan dukungan konkret agar sektor padat karya ini tetap mampu menjaga serapan tenaga kerja.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyebut, sejumlah pelaku usaha mebel melaporkan kinerja kuartal III-2025 yang flat sampai minus satu digit dibanding periode yang sama tahun lalu.
Itu terjadi akibat sikap wait-and-see buyer di tengah prospek tarif Amerika Serikat (AS) pada bulan Oktober dan menurunnya pesanan Eropa serta China. Meski trennya berbeda pada tiap segmen, menurutnya ini menjadi indikator perlambatan ringan.
Baca Juga: Ekspor Furnitur ke AS Kena Tarif 19%, HIMKI: Buyer Beralih ke Vietnam
Untuk mendorong kinerja industri, HIMKI mengusulkan paket kebijakan “3E+2M”, yakni Energy (energi), Export (ekspor), E-procurement (pengadaan elektronik), Market (pasar), dan Manpower (tenaga kerja).
Pada aspek energi, HIMKI menilai penyesuaian tarif listrik kerja malam bagi pabrik padat karya diperlukan agar lebih kompetitif, termasuk skema peak–off peak yang lebih fleksibel. Selain itu, diperlukan juga diskon elektrifikasi untuk oven, kompresor, dan mesin penunjang produksi bagi pabrikan yang melakukan substitusi impor komponen.
Untuk ekspor, diusulkan fasilitas pembiayaan ekspor berbiaya rendah, misalnya melalui LPEI atau SME exporter line, untuk menjaga likuiditas industri kecil-menengah. HIMKI juga mendorong insentif logistik bagi eksportir yang membuka rute alternatif non-AS, mengingat ekspor ke AS masih mendominasi sekitar 60% pangsa furnitur Indonesia.
“Diversifikasi pasar penting untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Apalagi harga di pasar global makin ketat akibat pelemahan di Eropa dan China,” jelas Sobur kepada Kontan, Kamis (9/10/2025).
Dari sisi permintaan domestik, HIMKI berharap ada percepatan penayangan produk furnitur lokal di e-Katalog LKPP, sekaligus memastikan proyek APBN dan APBD mematuhi ketentuan TKDN minimal 40%.
Langkah ini, jelas Sobur, bisa menjadi “jaring pengaman” permintaan di tengah pelemahan ekspor, terutama untuk kategori furnitur kantor, sekolah, dan rumah sakit. Dengan regulasi yang sudah ada pengawasan dan percepatan eksekusi perlu dimaksimalkan.
Baca Juga: HIMKI Ungkap Dampak Pengenaan Tarif 32% oleh AS Bagi Industri Mebel & Kerajinan
HIMKI juga meminta penertiban impor borongan dan penerapan SNI wajib untuk furnitur anak serta sekolah. HIMKI menilai langkah ini penting untuk menciptakan level playing field antara produsen lokal dan impor.
Sementara di sisi tenaga kerja, HIMKI mengusulkan subsidi program upskilling dan reskilling, seperti pelatihan CNC routing, finishing ramah lingkungan, hingga upholstery ergonomik. Pemerintah juga diminta menyalurkan matching grant untuk modernisasi alat produksi, termasuk sanding dan finishing rendah emisi (low VOC).
Selanjutnya: BP BUMN Pastikan Perusahaan Pelat Merah Siap Tampung Peserta Magang Berbayar
Menarik Dibaca: Promo Minyak Goreng Indomaret 9-15 Oktober 2025, Harumas 2 Liter Mulai Rp 34.600
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News