kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri hasil tembakau (IHT) masih diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19


Kamis, 01 Juli 2021 / 16:08 WIB
Industri hasil tembakau (IHT) masih diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19
ILUSTRASI. Pekerja menunjukkan rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) . ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati berpendapat, jika cukai akan kembali naik tinggi, terlebih di masa pandemi, pasti akan memberatkan IHT. Selain karena penanganan belum baik, daya beli masyarakat belum bisa pulih dalam waktu dekat.

“Padahal, tidak bisa dipungkiri rokok memang salah satu barang konsumsi utama masyarakat Indonesia. Tapi kalau yang legal dinaikkan, justru meningkatkan permintaan terhadap rokok ilegal,” terang dia.

Ketika celah kekosongan pasokan dari produk legal akan diisi oleh produk ilegal, maka dari sisi konsumsi akan banyak efek domino buruk. Perdagangan rokok ilegal tidak akan menerapkan azas-azas keamanan yang ditetapkan pemerintah seperti yang diterapkan pada pelaku niaga rokok legal. Terlebih, kini penjualan rokok ilegal bisa dilakukan di mana saja, sehingga konsumsinya pun makin tidak terkontrol.

“Salah satunya target prevalensi perokok pada usia dini. Bisa makin jauh. Rokok ilegal dijual bebas dan lebih murah, jadinya siapa saja bisa mendapatkannya. Di masa pandemi seperti ini produksi rokok legal bisa saja turun, tapi permintaan riilnya bisa tetap stabil atau naik karena diisi oleh rokok ilegal,” jelas Enny.

Hal ini tidak hanya merugikan pelaku IHT di segala lapisan, melainkan juga pemerintah yang tidak akan mendapat tambahan penerimaan negara. Dalam kajian yang dilakukan INDEF pada tahun lalu, setidaknya ada kerugian negara dari penerimaan yang tidak optimal karena rokok ilegal sebesar Rp 4,38 triliun.

“Ini hanya berasal dari data realisasi tindakan yang dilakukan Bea Cukai, seperti yang kita tahu rokok ilegal masih sangat marak,” lanjut Enny.

Secara terpisah, Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan, cukai hasil tembakau memang jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi dia mengatakan, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan. Dampak yang paling mudah dilihat adalah penurunan produksi yang sudah terlihat saat ini.

“Menurut saya adanya roadmap IHT bisa jadi solusi. Tapi roadmap yang komprehensif sesuai dengan situasi dan melibatkan seluruh stakeholder dalam negeri. Tidak seperti menaikkan tarif cukai tahun 2020 yang berlandaskan roadmap Bloomberg,” pungkas dia.

Selanjutnya: Kementan minta revisi PP 109/2012 ditinjau ulang, ini alasannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×