Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Produsen dalam negeri mengeluhkan kesulitan memperoleh bahan baku domestik. Untuk mendapatkannya, alhasil, para produsen mulai hunting ke pasar impor. Hal inilah yang kini tengah dihadapi oleh industri hilir plastik seperti produsen karung maupun pembungkus plastik.
Produsen hilir plastik mengaku kesulitan bahan baku berupa polyetilina (PE) dan polypropilena (PP) sebanyak 140.000 ton atau 20% dari total kebutuhan nasional. Sebab itu, mereka memutuskan untuk mengimpornya dari China dan Singapura. Padahal, kebijakan impor semakin membuat mereka terpuruk karena harganya lebih mahal dari dalam negeri.
"Harga bahan baku impor lebih mahal sekitar USD60-USD80 per ton jika dibandingkan harga dalam negeri. Tapi kami harus tetap memperoleh bahan baku," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (Giatpi) Totok Wibowo, pekan lalu.
Usut punya usut, kekurangan pasokan bahan baku terjadi akibat salah satu produsen berhenti operasi. Perusahaan itu adalah PT Polytama yang memproduksi PE dan PP. Asal tahu saja, selama ini, kebutuhan bahan baku plastik industri domestik hanya dipenuhi dua produsen yakni PT Polytama dan PT Tripolyta.
Produsen mengeluh, keuntungannya terpangkas sangat besar karena produk bahan baku impor. Sebab, harga bahan baku impor terbilang lebih mahal dari lokal. Harga PE dan PP di dalam negeri sekitar USD1.150 per ton. Sementara harga bahan baku impor lebih mahal sekitar US$ 60-US$ 80 per ton.
Rupanya, pemerintah menyadari kelangkaan bahan baku bagi industri plastik hilir ini. Direktur Industri Kimia Hilir Departemen Perindustria (Depperin) Tony Tanduk mengaku telah mengetahui kesulitan produsen industri hilir plastik yang terpaksa mengimpor PE dan PP mengingat tidak tersedianya pasokan bahan baku di dalam negeri. Bahkan, kekurangan bahan baku dinilai telah menjadi dilema sejak lama di industri kimia hulu.
Dilema tersebut dipicu masalah kebutuhan nafta di dalam negeri cukup besar. Nafta adalah bahan baku PE dan PP. Sementara produsen Nafta kita justru lebih memilih mengekspor bahan baku nafta yakni minyak mentah dan gas alam ke luar negeri." Disinilah munculnya dilema indistri plastik," ujar Tony.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News