Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Menurutnya kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tersebut diambil setelah adanya kesepakatan dengan pelaku industri rokok. Namun kini Kementerian keuangan ingin mempercepat jadwal kenaikan tersebut menjadi langsung 10%.
“Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan bahwa tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9%. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah,” katanya.
Ia menilai percepatan kenaikan PPN ini dikarenakan pemerintah panik target pemasukan pajak sulit tercapai yang berpotensi terjadinya shortfall yang besar. “Efeknya merugikan pelaku industri,” katanya.
Untuk itu ia meminta pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. “Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari,” ujarnya.
Selain itu, jika dipercepat, pelaku industri rokok juga belum siap. Terutama yang paling terkena adalah para distributor rokok. “Dengan pengenaan 10% ini akan merepotkan dari sisi distribusinya. Situasi ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Apalagi, selain kenaikan PPN, di saat yang sama Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea dan Cukai juga berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok. Sehingga ia khawatir kenaikan PPN akan mengganggu penerimaan cukai.
“Ego sektoral masih terasa. Yang satu pimpinan ingin punya prestasi, begitu juga pimpinan lainnya. Jadi masing-masing direktorat ingin menonjol, itu-kan konyol namanya,” keluh Suhardjo.
Senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti yang menyatakan, keberatan rencana perubahan tarif PPN dari single stage tax (final) saat sekarang ke multi stage tax (umum).