Reporter: Agung Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penjualan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke sektor industri hanya bertumbuh 1,13%. Lemahnya permintaan ditengarai akibat lesunya konsumsi di sektor baja, tekstil dan semen yang membutuhkan energi cukup tinggi untuk produksi.
Silmy Karim, Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/ The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) tak menampik memang terjadi pelemahan di sektor baja saat ini. Turunnya konsumsi listrik diikuti oleh penurunan produksi baja nasional.
"Turun karena utilisasi secara nasional pabrikan juga turun," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (21/10). Menurutnya, utilitas produksi baja Indonesia saat ini menurun hingga 20%-30% dibandingkan tahun lalu.
Baca Juga: Hingga kuartal III-2019, pelanggan PLN tambah 2,5 juta menjadi 74,16 juta
Saat ini, kapasitas terpasang baja dalam negeri, baik produk hulu maupun hilir diperkirakan mencapai 15 juta ton sampai 17 juta ton dimana utilitas produksi dalam negeri tahun lalu kurang dari 50%. Listrik bersama gas selama ini berkontribusi hingga 20% bagi beban produksi industri baja.
Bertindak juga sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Silmy turut mengakui penurunan produksi terjadi di pabrikan perusahaannya. Hanya saja, ia belum dapat membeberkan detailnya. Kondisi industri baja lokal saat ini tergerus akibat maraknya baja impor dengan harga murah di Indonesia.
Dari sisi eksternal, KRAS berhadapan dengan raksasa industri baja China yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 1 miliar ton per tahun atau setara dengan 55,55% permintaan baja dunia yang sebesar 1,8 miliar ton per tahunnya sehingga bisa mempengaruhi penjualan ekspor baja KRAS.
Baca Juga: Konsumsi listrik industri payah, penjualan listrik PLN bisa tak capai target
Selain itu, KRAS juga menghadapi persaingan penjualan baja yang ketat di tingkat nasional akibat tingginya importasi baja yang masuk ke dalam negeri. Berdasarkan keterangan Silmy, saat ini lebih dari 50% kebutuhan baja dalam negeri dipenuhi baja impor yang masuk ke dalam negeri yang sebagian besar berasal dari China.
Sementara itu produsen semen, PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) menyebut konsumsi listrik cenderung stabil. Sekretaris Perusahaan INTP Antonius Marcos mengatakan, memang ada pabrikan milik perusahaan di Citereup selain menggunakan energi dari PLN juga ada pembangkit listrik sendiri yang menggunakan natural gas.
"Sedangkan di pabrik kami di Tarjun menggunakan batubara karena listrik PLN belum masuk di sana," terangnya kepada Kontan.co.id, Senin (21/4). Di tengah lesunya permintaan pasar semen domestik saat ini, INTP harus menggenjot efisiensi.
Sampai September 2019, volume penjualan INTP menurun 1,9%, dan perusahaan masih mengejar volume penjualan 18,1 juta ton sampai akhir tahun nanti. Kapasitas terpasang INTP mencapai 24,9 juta ton per tahun dengan utilitas kisaran 75%-80%.
Baca Juga: Gawat! 19 Proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) Mangkrak Karena Tidak Dilirik Investor
Hingga September 2019, INTP telah menjual 12,8 juta ton semen. Penurunan sepanjang 2019 ini, menurut Antonius, tidak lepas dari adanya momentum pemilihan umum (pemilu), di mana konsumen masih menahan diri membeli semen.
Antonius optimistis penjualan semen di 2019 akan kembali bergairah. Sebab, kebijakan pelonggaran loan to value (LTV) dinilai akan mendorong tingkat konsumsi masyarakat terhadap belanja properti.
Sedangkan bagi industri tekstil, PT Pan Brothers Tbk (PBRX) konsumsi listrik memang dirasakan lebih hemat lantaran sudah memulai efisiensi di beberapa pabrik. Salah satunya dengan penguatan otomatisasi dan digitalisasi di lini produksi.
"Mesin-mesin baru memang semakin hemat energi dan lebih efisien pemakaian listriknya," terang Iswar Deni, Sekretaris Perusahaan PBRX kepada Kontan.co.id, Senin (21/10). Sayangnya, ia tidak menerangkan lebih lanjut besaran penghematan yang dilakukan, namun diketahui PBRX menggelontorkan dana hingga US$ 12 juta di tahun ini untuk upgrade mesin dan penambahan kapasitas.
Diharapkan sampai akhir tahun ini, PBRX bakal mencapai kapasitas produksi 116 juta potong pakaian dalam setahun. Sebagai informasi, per Juni 2019, ekspor PBRX mencakup 93,9% dari total penjualan.
Sementara sisanya dari penjualan lokal. Posisi pelanggan dengan persentase pesanan terbanyak diduduki Uniqlo, yakni sebesar 22%. Disusul Adidas Sourcing Ltd 13% dan The North Face 12%.
Hingga akhir tahun ini, PBRX juga optimistis laba besih dapat tumbuh 10%-15% secara tahunan dari realisasi 2018 yang sebesar US$ 16,3 juta. Pada paruh pertama tahun ini, laba besih PBRX sudah mencapai US$ 8,5 juta.
Baca Juga: 19 proyek EBT kesulitan pendanaan, ESDM: Kami terus dorong
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News