Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri parkir formal di Indonesia menunjukkan perkembangan yang dinamis dalam beberapa tahun terakhir. Namun begitu, pelaku usaha masih dihadapkan berbagai tantangan, termasuk soal polemik profitabilitas dan persaingan pasar.
Ketua Indonesia Parking Association (IPA) Rio Octaviano menjelaskan, saat ini terdapat dua jenis pengelola parkir, yakni pengelola dari operator parkir pihak ketiga dan pengelola dari internal manajemen gedung. Nah, belakangan ini terjadi pergeseran pola pengelolaan.
“Dulu sebagian besar pengelolaan parkir diserahkan kepada operator pihak ketiga. Namun belakangan banyak manajemen properti yang memilih mengelola parkirnya sendiri dengan menyewa atau membuat sistem parkir mandiri,” ujar Rio kepada Kontan, Rabu (29/10/2025).
Baca Juga: Industri Tekstil Menanti Realisasi Janji Pemberantasan Impor Ilegal
Meski begitu, pemain lama di sektor operator parkir masih mendominasi pangsa pasar dari sisi nilai bisnis. Namun tak bisa ditampik, tren pengelolaan internal meningkat pesat. Ia mencontohkan, sejumlah grup besar propert kini mengelola parkir di seluruh propertinya melalui anak usaha sendiri.
Menurut Rio, meningkatnya jumlah pemain baru, baik yang berasal dari operator pihak ketiga maupun internal gedung, menunjukkan industri ini kian kompetitif. Namun, kondisi pasar belum sepenuhnya sehat karena masih didominasi oleh segelintir pemain besar.
Ia terang-terangan menyebut, saat ini bisnis parkir masih terjebak dalam monopoli dan duopoli. Apalagi, pasar cenderung menilai dari merek yang paling dikenal, bukan dari kualitas layanan dan faktor lainnya.
Polemik Perizinan dan Bagi Hasil
IPA mencatat di wilayah DKI Jakarta saja saat ini terdapat kisaran dua ribu izin pengelolaan parkir, baik oleh operator profesional maupun pengelola internal. Namun, ketatnya regulasi dan sistem perizinan yang belum efisien justru menghambat pelaku usaha kecil di sektor ini untuk berkembang.
Rio menyoroti soal rumitnya proses perizinan yang kerap mengaitkan izin parkir dengan administrasi gedung. Akibatnya, jika terdapat kendala administratif pada gedung, izin parkir juga ikut tertahan.
“Hal ini membuat banyak pelaku usaha kesulitan beroperasi secara resmi. Akhirnya muncul praktik-praktik nonformal di lapangan,” ujar Rio.
Dari sisi bisnis, struktur keuntungan di industri parkir saat ini juga masih berat sebelah. Sebagian besar pendapatan parkir justru dinikmati oleh pemilik gedung atau landlord. Rio membeberkan, sebesar 90% - 95% profit jatuh ke pemilik properti, sementara operator parkir hanya menerima sekitar 1%–5%.
Baca Juga: Fenomena 'Rojali' di Kalangan Kelas Menengah Masih Marak, Hippindo Bilang Begini
Kondisi tersebut membuat operator parkir harus memperbanyak jumlah lokasi agar dapat bertahan. Rio menilai pola pembagian keuntungan yang belum ideal ini menjadi salah satu tantangan utama, terutama bagi pelaku usaha berskala kecil dan menengah (UMKM).
“Kalau sistem bisnisnya masih seperti sekarang, tanpa dukungan regulasi yang lebih berpihak pada pelaku kecil, maka sulit bagi UMKM untuk berkembang di industri perparkiran,” kata Rio.
Ke depan, ia menilai prospek pertumbuhan industri parkir masih akan terkonsentrasi di kota-kota besar, seiring meningkatnya penerimaan terhadap sistem parkir modern dan berbasis teknologi. Sementara di daerah, penerapan sistem profesional masih terhambat oleh minimnya ekosistem dan infrastruktur pendukung.
Selanjutnya: 12 Proyek Strategis Nasional Senilai Rp 270 T Ditargetkan Rampung pada Akhir 2025
Menarik Dibaca: 8 Tontonan Teka-Teki Netflix Penuh Misteri Menguji Logika
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













