kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri perhotelan Tanah Air terbebani pajak OTA


Selasa, 14 November 2017 / 18:52 WIB
Industri perhotelan Tanah Air terbebani pajak OTA


Reporter: Klaudia Molasiarani | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran Online Travel Agencies (OTA) asing di Indonesia mulai terasa membebani industri perhotelan Tanah Air. Ini lantaran para pebisnis OTA asing melalaikan kewajiban membayar pajak luar negeri atau PPh Pasal 26.

Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, OTA asing menerima komisi sebesar 20% sampai 30% melalui platform penjualan yang mereka sediakan. Angka tersebut bukan merupakan bagian dari penjualan kamar hotel, melainkan murni komisi yang diterima oleh OTA asing.

Namun begitu, para pebisnis OTA asing ini tak lantas membayar penghasilan atas Wajib Pajak Luar Negeri atau PPh Pasal 26. "Alhasil, "PPh itu dibayar oleh pihak hotel," ujar Hariyadi saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (14/11).

Dia mencontohkan, jika harga kamar hotel dibanderol Rp 1 juta, OTA asing menerima komisi sekitar 20% atau Rp 200.000. "Misal dia tidak punya tax treaty, berarti dia bayar pajak 20% (dari komisi), yaitu Rp 40.000. Kalau dia enggak bayar, hotel yang bayar," kata Hariadi.

Ketika itu terjadi, pendapatan hotel akan tergerus 4% atau Rp 40.000 untuk 1 kamar seharga Rp 1 juta. "Tiap hari transaksi terus, jadi antara 2% sampai 4% membayar (pajak) mereka," imbuhnya.

Menurut Hariyadi, kesepakatan tersebut harus diperbaharui, agar beban pajak tidak ditanggung oleh pihak hotel, sementara komisi yang diterima oleh OTA asing cukup besar.

Menurut Hariyadi, OTA asing memiliki kewajiban untuk membayar pajak atas komisi yang mereka terima. Sayangnya, pimpinan OTA asing tidak ada di Indonesia, sehingga tidak mudah untuk menemukan mereka. "Di Indonesia yang ada hanya penjualnya," imbuhnya.

Hariyadi berharap, pemerintah bisa menghadirkan mereka di Indonesia untuk mencari solusi terhadap persoalan ini. Hariyadi menyebut, jika OTA asing berasal dari negara yang sudah mempunyai kerja sama perpajakan dengan Indonesia atau Tax Treaty maka akan dikenakan tarif pajak 10%. Sementara jika berasal dari negara yang tidak memiliki tax treaty di Indonesia, tarif pajaknya mencapai 20%. 

Namun Rini Trwiwardani, Revenue Manager Hotel Solo Paragon mengatakan, pihaknya tidak pernah memberi komisi kepada OTA asing hingga sebesar 20%-30%. Menurutnya kontrak dengan masing-masing OTA bisa berbeda. Meski begitu, dia merasakan dampak positif dengan adanya OTA yang cukup membantu bisnis Solo Paragon.

Saat ini online production terbesar yang didapat Solo Paragon berasal dari OTA lokal. Namun, "untuk production dari OTA asing ada sedikit penurunan 3% dibanding tahun lalu," ujar Rini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×