Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Nasib industri rekaman Indonesia makin terpuruk. Menurut Binsar Silalahi, Ketua Harian Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia (Gaperindo), jumlah perusahaan rekaman yang berada di bawah naungan Gaperindo kini tersisa kurang dari 10 perusahaan.
Padahal, di tahun-tahun sebelumnya anggota Gaperindo masih berjumlah sekitar 50 perusahaan. "Banyak yang gulung tikar," katanya, Selasa (28/12).
Marulam Hutahuruk, General Manager Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), juga menyatakan hal yang sama. Perusahaan rekaman yang bernaung di bawah ASIRI kini tinggal 85 perusahaan. "Tahun-tahun sebelumnya padahal ada lebih dari 100 perusahaan," ujar Marulam.
Dalam 5 tahun terakhir, industri rekaman Tanah Air memang mendapat hantaman yang luar biasa, terutama akibat pembajakan. Menurut Binsar, hantaman ini makin berat terasa karena perusahaan rekaman masih bertumpu pada produk cakram optik, seperti compact disc (CD).
Binsar memprediksi tahun ini jumlah CD legal di pasaran hanya sekitar 15 juta keping. Sementara, jumlah CD bajakan mencapai 500 juta keping per tahunnya. "Sekitar 1,5 juta CD bajakan masuk ke Glodok setiap harinya," keluh Binsar.
Untuk mensiasati pembajakan, banyak perusahaan yang mulai menggejot produksi rekaman dalam bentuk digital maupaun ring back tone (RBT).
Selain RBT, perusahaan rekaman juga melakukan strategi lain seperti menjalin kerjasama dengan perusahaan konsol komunikasi. Saat ini, banyak perusahaan handphone yang menciptakan paket album musik dalam produknya. "Inilah yang kemudian menjadi lahan baru bagi industri rekaman," kata Marulam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News