kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri susu olahan bergairah, peternak kewalahan


Rabu, 30 Januari 2013 / 09:09 WIB
Industri susu olahan bergairah, peternak kewalahan
ILUSTRASI. Varian warna Realme GT Master Edition


Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Sandy Baskoro

JAKARTA. Industri pengolahan susu domestik makin bergairah. Pada awal tahun ini ada 20 perusahaan yang mengajukan pesanan (order) untuk mengolah susu kepada Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

Namun GKSI menolak order 20 perusahaan itu. Pasalnya, saat ini kapasitas GKSI terbatas untuk konsumen lama. "Kapasitas kami sudah maksimal untuk Danone dan So Good Food. Tapi ini bukti bahwa industri pengolahan susu dalam negeri bergairah," kata Ketua GKSI, Dedi Setiadi, Selasa (29/1).

Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional, juga mengakui, industri pengolahan susu di dalam negeri lebih bagus daripada industri susu segar. Sebab, harga susu olahan, seperti yoghurt, biskuit, dan susu kemasan, jauh lebih tinggi daripada susu segar. "Sehingga banyak pemain baru yang tertarik di industri pengolahan susu," kata dia.

Harga susu olahan di pasar mencapai Rp 12.000 per liter. Sedangkan harga susu segar Rp 3.500 per liter. "Artinya nilai tambah industri susu sangat tinggi, terutama untuk segmen pasar anak-anak," ungkap Teguh.

Memang, untuk mengolah susu, pengusaha butuh investasi besar. Biasanya industri yang tak punya pabrik olahan bisa memanfaatkan GKSI untuk mengolah susunya. "Seperti Cimori. Dulu, sebelum punya pabrik, mengolah di koperasi. Sekarang Cimori sudah memiliki pengolahan sendiri, meski kapasitasnya masih kecil," tutur Teguh.

Pada tahun lalu, menurut Dedi, ada 42 perusahaan yang mengajukan izin kepada Kementerian Perindustrian untuk membangun pabrik pengolahan susu. Ini juga menggambarkan, industri susu olahan begitu prospektif.

Meski demikian, industri ini masih memiliki sejumlah hambatan, antara lain pasokan bahan baku berupa susu segar. Sampai saat ini bahan baku lebih banyak diimpor yakni sekitar 80% dari total kebutuhan. Sedangkan sisanya, sebesar 20%, dipenuhi produsen lokal.

Dedi khawatir pasokan bahan baku susu lokal akan kian menipis. Sebab, banyak peternak yang lebih memilih menjual daging sapi daripada susu sapi. Sebagai perbandingan, harga sapi perah untuk daging bisa mencapai Rp 11 juta per ekor. Sedangkan sapi perah yang dijual susunya, hanya seharga Rp 6 juta per ekor.

"Kondisi ini sudah terjadi sejak tahun lalu. Karena harga susu segar jauh lebih murah daripada harga daging sapi, maka bahan baku susu berkurang," ungkap Dedi.

Kenaikan harga daging sapi menyebabkan populasi sapi perah menurun hingga 15%. Dedi mencontohkan, populasi sapi perah di Lembang berkurang 5.000 ekor. Kemudian populasi sapi perah di Sumedang juga turun 2.000 ekor.

Maka itu, GKSI mengharapkan pemerintah segera mendorong penambahan populasi sapi perah. Caranya, pemerintah mempermudah kredit untuk usaha pembibitan ternak. Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif pakan. "Kalau pemerintah bisa menyelamatkan 20.000 ekor sapi produktif untuk tidak dipotong, maka akan menaikkan produksi susu segar," terang Dedi.

Insentif lain yang tak kalah penting adalah intervensi harga. Dedi meminta pemerintah menaikkan harga susu Rp  500 per liter. "Harga susu segar saat ini Rp  3.300 hingga Rp  4.100 per liter," kata dia.

Di tahun ini, produksi susu segar diprediksi mencapai 1,7 juta liter per hari. Jumlah itu naik tipis 6,25% dibandingkan produksi susu sapi segar tahun lalu yang mencapai 1,6 juta liter per hari. Sedangkan permintaan susu segar di dalam negeri pada tahun ini mencapai 6,8 juta liter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×