Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai, tahun 2012 menjadi tahun yang suram bagi industri kelapa sawit Indonesia. Kondisi itu dinilai terjadi karena faktor eksternal, yakni perekonomian global yang terpuruk.
Selain faktor eksternal, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi kinerja bisnis kelapa sawit di 2012. Faktor internal itu dinilai ikut memperburuk kinerja bisnis industri kelapa sawit di tahun 2012.
"Ada beberapa hal yang perlu di garisbawahi dan menjadi masalah industri sawit nasional di tahun 2012." ujar Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal GAPKI saat jumpa pers awal tahun di kantornya, Jakarta, Selasa (8/1).
Berikut tiga masalah yang dihadapi industri kelapa sawit tahun 2012 yang dikeluhkan Gapki tersebut:
Soal kepastian hukum
Joko mengatakan, lahan kelapa sawit di sepanjang tahun 2012 hanya bertambah seluas 200.000 hektare (ha). "Ini kecil karena biasanya tambahan lahan mencapai 600.000 ha per tahun," ujarnya. Menurut Joko soal lahan kelapa sawit erat kaitannya dengan kepastian hukum dan tata ruang.
"Soal kepastian hukum ini masalah dari tahun ke tahun. Tidak ada perubahan yang signifikan," kata Joko. Joko juga bercerita, masalah lainnya yang terkait lahan adalah, adanya kebun sawit yang sudah produksi puluhan tahun, tetapi kini dianggap berdiri di lahan kawasan hutan.
Soal moratorium izin baru hutan
Masalah kedua yang dihadapi pebisnis kelapa sawit adalah, ditetapkan kebijakan moratorium izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan ini, membuat ekspansi perkebunan kelapa sawit Indonesia melambat hingga 50%.
Joko menilai, moratorium hutan melahirkan potential loss (potensi yang hilang) yang seharusnya dapat digarap menjadi lahan kelapa sawit. "Terhambat ekspansi sawit ini juga menghambat pembangunan kebun plasma. Dimana ada 30.000 petani yang terkait kebun plasma," jelas Joko.
Infrastruktur yang minim
Joko menyebutkan, dirinya merasakan kemajuan infrastruktur di Indonesia meski pemerintah sudah menetapkan proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Menurut Joko, kondisi infrastruktur seperti pelabuhan saat ini masih jauh dari harapan mereka. Minimnya infrastruktur itu mempengaruhi pada biaya produksi yang semakin mahal. Pelabuhan yang menjadi kritikan pengusaha kelapa sawit itu adalah, pelabuhan yang berada di Sumatera dan Kalimantan. "Pelabuhan itu yang menyebabkan tingginya biaya transportasi untuk angkut CPO," ujar Joko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News