Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Para pelaku industri terutama sektor ritel tengah pusing tujuh keliling melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Terutama pasca melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan sejumlah kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang dianggap tidak tepat untuk mendukung pertumbuhan bisnis industri di tanah air.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (APRINDO) Tutum Rahanta, mengatakan, tidak hanya sektor ritel, saat ini industri di berbagai sektor sedang mengalami krisis. Menurut Tatum, gejala terjadinya krisis pada sektor ritel dimulai sejak awal 2014. Saat itu, pertumbuhan industry ritel mulai melemah. Dampaknya semakin jelas ketika kenaikan harga menjelang hari raya Idul Fitri tidak seperti yang ditargetkan. “Ketika menjelang akhir tahun, tepatnya kuartal empat tahun lalu, terjadi pelemahan rupiah sehingga dampaknya lebih hancur lagi terhadap industri,"ujar Tutum pada KONTAN Senin (23/3).
Gejala pelemahan pertumbuhan industri di tanah air dimulai sejak Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijkan untuk mengetatkan likuiditas dengan cara menaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) secara bertahap hingga mencapai 7,75% pada tahun lalu. Tatum mengatakan, kebijakan BI memang bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Namun, langkah tersebut membikin likuiditas di perbankan berkurang. “Ini bahaya karena merembet ke sendi-sendi yang lain dan susah untuk memperbaikinya,” kata Tatum.
Untuk itu, saat ini pemerintah harus bertindak cepat untuk memberikan stimulus agar industri bisa terus bertumbuh. Pemerintah juga harus mengeluarkan stimulis agar daya beli masyarakat meningkat dan harga-harga barang kebutuhan tidak melonjak. Jika harga kebutuhan naik dan daya beli menurun, “Kami bisa babak belur,” kata Tatum.
Apalagi, menurut Tutum, tidak mungkin setiap kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar dan listrik tidak akan mempengaruhi harga jual. Pasalnya, seluruh kenaikan biaya-biaya akan mempengaruhi harga jual karena industri harus menutupi biaya-biaya agar tidak mengalami kerugian.
Hal senada juga diungkapkan Presiden Direktur PT Supra Boga Lestari Nugroho Setiadharma. Menurut Nugroho, tahun ini ekonomi dirasakan melemah oleh para pelaku industri. Indikatornya adalah berkurangnya daya beli masyarakat.
Untuk itu, Nugroho menyangsikan jika pelemahan rupiah saat ini akan membuat pemerintah kembali menaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Pasalnya, saat ini daya beli masyarakat sudah berkurang. "Tidak ada alasan pemerintah menaikan lagi. Saya tidak melihat ada alasan yang tepat untuk menaikin harga BBM karena sekarang purchasing power sudah tidak mampu,"ujar Nugroho.
Satria Hamid Ahmadi, Head of Corporate Affairs PT Trans Ritel Indonesia dan juga Wakil Sekjen APRINDO, mengatakan jika pemerintah hendak menaikan harga BBM dan tarif listrik, industri sudah tidak bisa memiliki daya saing dan masyarakat pun akan semakin memiliki beban ekonomi yang tinggi. Untuk itu, kebijakan kenaikan harga BBM dan tariff listrik harus dipikirkan masak-masak. Sebab, industry ritel harus kembali menaikkan harga jual jika terjadi kebijakan kenaikan harga BBM dan tarif listrik. “Pemerintah harus membuat strategi yang jitu agar beban masyarakat pun tidak semakin tinggi,"ujar Satria.
Satria juga berharap, pemerintah membuat strategi jitu untuk tetap bisa meningkatkan daya saing industri dalam negeri sehingga tidak akan tertinggal dibandingkan para pesaing dari negara lain. Biarpun begitu, Satria bilang para pelaku industri masih tetap optimis menjalankan bisnis pada tahun ini sembari menantikan indikator ekonomi makro yang lebih baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News