kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,49   -13,02   -1.39%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini penyebab kualitas biji Kopi Kintamani turun


Rabu, 23 November 2016 / 20:45 WIB
Ini penyebab kualitas biji Kopi Kintamani turun


Reporter: Klaudia Rani | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) mengatakan permintaan kopi nusantara semakin tinggi, sehingga petani kopi pun dituntut untuk mampu menghasilkan biji kopi yang semakin berkualitas. Namun, ada beberapa hal yang ternyata membuat kualitas kopi nusantara terganggu.

Marketing Communication AEKI, Sri Linda mengatakan, permintaan kopi baik domestik maupun ekspor sudah mengarah pada biji kopi grade 1 yang berkualitas. “Sekarang ada titik di mana petani harus pintar dalam memilih bibit, memperhatikan tekstur tanah, cara tanam, hingga petik panen,” ujarnya, Rabu (23/11).

Beberapa waktu lalu, Kementerian Koperasi dan UKM sempat mengajak AEKI bersama PT Taman Delta Indonesia untuk memberikan pelatihan kepada petani kopi Bali Kintamani. Linda mengatakan, permasalahan yang kerap dihadapi petani kopi Bali Kintamani adalah ketika pasca panen. Masa petik panen kopi yang ideal, kata dia adalah ketika kopi berwarna merah ceri.

Sekadar informasi, masa panen kopi terjadi setiap satu tahun sekali. Ketika memasuki masa panen, buah kopi mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning. “Itu jangan dipetik dulu karena warna akan berhubungan dengan kualitas,” katanya.

Hal inilah yang terkadang dilupakan oleh petani kopi di sana. Padahal, secara geografis, Kintamani sudah memiliki tekstur tanah yang bagus. Hanya saja, hal ini belum diimbangi oleh pemahaman petani ketika melakukan proses pengolahan kopi pasca panen.

Senada, Marketing Manager PT Taman Delta Indonesia, Moelyono Soesilo yang juga fokus memberikan pembinaan kepada petani kopi nusantara mengatakan, masalah pasca pemetikan kerap dialami oleh petani kopi. “Selesai pemetikan, kadang petani enggak sadar bahwa selesai dipetik harus langsung melewati proses,” ungkapnya.

Sayangnya, belum semua petani kopi menyadari hal ini. Menurut Moelyono, pasca dipetik, para petani tidak langsung mengolah biji kopi karena biji kopi yang telah panen jumlahnya masih sedikit. “Itu karena jumlah sedikit, dia olah ke efisiensi, kan?” katanya.

Selain itu, letak daerah Kintamani yang ada di dataran tinggi, membuat para petani terkendala pada proses penjemuran. Hal ini juga berhubungan pada proses penyimpanan biji kopi. Proses pengolahan biji kopi yang menggunakan wash process harus memiliki kadar air 12%. “Tetapi rata-rata petani di sini disimpan di kadar 13% - 14%. Padahal kalau terlalu lama, mutu kopi akan semakin turun,” katanya.

Kualitas biji kopi yang turun tersebut, lanjut Moelyono, juga akan berdampak pada kualitas rasa. “Kita perlu rasa yang konsisten juga. Dengan kadar air dan waktu penyimpanan, itu akan mempengaruhi cita rasa kopi dan aromanya,” imbuhnya. (Klaudia Molasiarani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×