Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Jakarta. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menghadapi masalah keuangan yang pelik. Tagihan utang Garuda Indonesia menumpuk dan menyebabkan perusahaan pelat merah ini berstatus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Mengutip materi paparan publik Garuda pada Desember 2021, total utang Garuda Indonesia telah mencapai US$ 9,8 miliar. Garuda Indonesia juga memiliki lebih dari 800 kreditur.
Namun dalam PKPU, tagihan utang Garuda Indonesia lebih besar lagi, mencapai Rp 198 triliun. Tagihan utang tersebut berasal dari 470 kreditur.
Besarnya utang Garuda Indonesia lantaran kesalahan manajemen lama. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan ada kebiasaan yang salah dari Garuda Indonesia saat membeli pesawat.
Kebiasaan itu pada akhirnya berdampak pada krisis keuangan Garuda Indonesia. Ia mengatakan, manajemen lama Garuda Indonesia suka membeli pesawat terlebih dahulu, ketimbang menentukan rute penerbangan.
Padahal kata dia, seharusnya perusahaan memetakan terlebih dahulu rute penerbangannya, baru membeli pesawat yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi rute. "Setelah kami dalami, banyak pembelian ini, hanya beli pesawat, bukan justru rutenya yang dipetakan lalu pesawatnya apa. Jadi ini malah pesawatnya dulu, baru rutenya," ungkap Erick dalam wawancara di Sapa Indonesia Malam KompasTV, Selasa (11/1/2022).
Baca Juga: Bantu Garuda Indonesia (GIAA), Chairul Tanjung Akan Tambah Modal dan Cari Investor
Menurut dia, kebiasaan yang salah saat pembelian pesawat itulah yang terindikasi adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh manajemen lama Garuda Indonesia. Teranyar, Erick melaporkan dugaan tindakan korupsi pengadaan pesawat jenis ATR 72-600 tahun 2013 ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dugaan korupsi ini dilakukan di era Direktur Utama Garuda Indonesia berinisial ES. Ia melaporkan tindakan korupsi itu berdasarkan hasil audit investigasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Kemarin kami sudah koordinasikan dengan Kejaksaan, nah hari ini kami resmi memberikan laporan secara audit investigasi," kata Erick.
Persoalan lainnya, lanjut dia, Garuda Indonesia kebanyakan membeli atau menyewa pesawat dengan jenis yang berbeda-beda. Alhasil penanganan perawatannya pun berbeda-beda dan membuat biaya perawatan jadi membengkak.
Erick mengungkapkan, Garuda Indonesia sempat beroperasi dengan 200 pesawat, yang kemudian turun menjadi 142 pesawat. Setelah terpukul akibat pandemi, jumlahnya kian berkurang menjadi kini beroperasi dengan 35 pesawat.
Di sisi lain, kata dia, manajemen lama juga banyak menyewa pesawat dari para lessor dengan harga yang tinggi atau kemahalan dibandingkan harga rata-rata dipasaran. "Jadi Garuda itu, lessor kita termahal mencapai 28 persen, sedangkan pesawat-pesawat maskapai lain itu 8 persen. Lalu Garuda banyak jenis pesawatnya sehingga operasionalnya pun lebih mahal," jelasnya.
Ia mengatakan, permasalahan di internal Garuda Indonesia itu semakin memburuk ketika pandemi Covid-19 membuat industri penerbangan terpukul. Oleh sebab itu, Erick menilai, pandemi menjadi momentum perbaikan di tubuh maskapai pelat merah itu.
Saat ini. Garuda Indonesia sendiri dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara sebagai upaya restrukturisasi untuk mendapat homologasi berkekuatan hukum dengan para lessor dan kreditur. "Maka justru dengan kondisi Covid-19 ini, bagus kita mengintropeksi seluruh bisnis model yang ada di Garuda," pungkas Erick.
Sebagai gambaran, Kementerian BUMN mencatat, hingga akhir September 2021, utang Garuda Indonesia mencapai 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS).
Secara rinci, liabilitas atau kewajiban Garuda mayoritas berasal dari utang kepada lessor mencapai 6,35 miliar dollar AS. Selebihnya ada utang ke bank sekitar 967 juta dollar AS, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dollar AS.
Secara teknis Garuda Indonesia pun sudah dalam kondisi bangkrut, namun belum secara legal. Hal itu karena maskapai milik negara ini punya utang yang lebih besar ketimbang asetnya, sehingga mengalami ekuitas negatif.
Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 milliar dollar AS, di mana liabilitasnya mencapai 9,8 miliar dollar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dollar AS.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Erick Thohir Ungkap Garuda Suka Beli Pesawat Lebih Dulu daripada Memetakan Rute Penerbangan",
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Yoga Sukmana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News