Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) menanggapi pemberitaan terkait banyaknya investasi yang masuk ke Malaysia, ketimbang Indonesia belakangan ini. Hal ini memperlihatkan banyaknya pekerjaan rumah pemerintah untuk membuat iklim investasi Indonesia lebih menarik di mata investor asing.
Ketua Umum HKI Sanny Iskandar menyampaikan, Indonesia sebenarnya masih memiliki potensi yang cukup baik meski investor asing saat ini sedikit waspada dan bersikap wait and see, karena 2024 merupakan tahun politik.
“Kami akan tunggu sampai dengan bulan November. Saat ini Indonesia tengah menghadapi transisi kepemimpinan nasional yang memposisikan kita pada persimpangan transformasi ekonomi,” ujar Sanny dalam siaran pers yang diterima Kontan, Senin (7/10).
Baca Juga: Kinerja Ekspor Mebel dan Kerajinan Berpotensi Naik di Tengah Penurunan Suku Bunga
HKI tetap optimistis bahwa setelah adanya pelantikan dan pembentukan kabinet pemerintahan baru, maka investasi akan bergerak.
Lebih jauh, sektor kawasan industri telah ada selama 50 tahun di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut kawasan industri telah menjadi penggerak utama perekonomian dan suatu terobosan model pengembangan wilayah dalam mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Dalam hal ini, pengembangan kawasan industri juga mampu mendorong hilirisasi, menghasilkan nilai tambah, meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, serta membuka peluang usaha di Indonesia.
Banyak tantangan yang harus dihadapi pengembang kawasan industri, mulai dari adanya perang dagang, perubahan teknologi, hingga kebutuhan untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Baca Juga: INA dan GL Capital Jajaki Perluasan Kerjasama Sektor Kesehatan Indonesia-China
Keberadaan kawasan industri sangat penting sebagai motor penggerak investasi. Contoh data Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) April 2024 dari Kementerian Investasi mencatat bahwa Provinsi Jawa Barat masih menempati peringkat pertama dalam realisasi investasi yakni Rp 64,7 triliun.
Jawa Barat sendiri dikenal sebagai tempat berdirinya lebih dari 30 kawasan industri dan menciptakan banyak industri manufaktur pada sektor otomotif, elektronik, data center, dan lain-lain.
Contoh lainnya ada di Kepulauan Riau (Batam, Bintan, Karimun) yang merupakan wilayah dengan jumlah 18 kawasan industri. Saat ini pengembangan kawasan industri di sana juga mengarah tidak hanya bagi manufaktur secara umum, melainkan juga pada bisnis industri hijau dengan teknologi tinggi dan pemanfaatan energi yang lebih baik.
Berdasarkan data BPS, ekonomi Kepulauan Riau pada kuartal II-2024 tumbuh sebesar 4,90% year on year (yoy). Dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan pada kuartal tersebut didorong oleh kategori Industri Pengolahan yang memiliki andil pertumbuhan sebesar 5,16%.
"Data HKI mencatat bahwa saat ini terdapat 117 kawasan industri di Indonesia dan tersebar di 24 provinsi yang merupakan agen-agen pemerintah dalam mendatangkan investasi," ungkap Sanny.
Baca Juga: Industri Alat Berat Kebanjiran Merek China, Begini Dampaknya
Dalam kerangka Transformasi Ekonomi Indonesia menuju Visi Indonesia Emas 2045, sektor industri memiliki peran sentral. Namun, Indonesia masih harus berbenah terutama dalam hal penyederhanaan perizinan berusaha. Meskipun saat ini pemerintah telah menggunakan sistem OSS berbasis Risk Based Approached (RBA), namun masih banyak hambatan penyelesaian perizinan yang ditemukan di lapangan.
Sebagai contoh, hal dasar terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang harus terkoneksi ke sistem yang saat ini masih terus diperbaiki, karena di banyak daerah masih berproses melalui perubahan peraturan daerah. Hal penting lainnya adalah jaminan kepastian hukum yang di dalamnya juga memerlukan sinkronisasi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Tantangan lainnya berkaitan dengan pengembangan infrastruktur dasar yang masih belum memadai, ditambah lagi dengan kebijakan yang tidak pro investasi. Misalnya pada ketersediaan sumber air baku bagi kegiatan industri. Saat ini, di daerah Jawa Barat memiliki keterbatasan sumber air baku, padahal industri di di sana sangat banyak dan membutuhkan sumber air baku.
Baca Juga: Kinerja Ekspor Mebel dan Kerajinan Berpotensi Naik di Tengah Penurunan Suku Bunga
Ketersediaan dan harga gas industri juga masih menjadi persoalan, misalnya kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang perlu diperluas sektor industrinya. Bagi para pemegang Badan Usaha Penyedia Gas Bumi (BUPTL), harga gas industri perlu dibuat lebih kompetitif.
HKI pun mengutip dari The Star Business News yang memberitakan bahwa keputusan Oracle untuk membangun fasilitas di Malaysia disebabkan oleh kesiapan infrastruktur Negeri Jiran dan posisinya yang semakin berkembang sebagai tujuan utama investasi digital. Untuk itu, kebijakan maupun penyediaan infrastruktur di Indonesia harus terus dibenahi.
Tak hanya itu, gangguan keamanan juga masih terjadi di kawasan industri. Contohnya adalah limbah ekonomis yang dimiliki suatu perusahaan tertentu dapat menjadi pemicu demonstrasi di dalam kawasan industri. "Persoalan dari aspek keamanan dan ketertiban ini dapat berpengaruh signifikan terhadap iklim investasi," tutur dia.
Baca Juga: Arsjad Rasjid: Dukungan kepada Ganjar-Mahfud Bukan Penyebab Munculnya Kadin Tandingan
Di luar hal-hal tersebut, HKI menilai perlunya kebijakan-kebijakan yang mendorong iklim investasi lebih atraktif dan pengembangan sumber daya manusia yang kompeten. Investor akan masuk berinvestasi apabila suatu negara atau daerah memiliki daya tarik, baik dari sisi fiskal maupun nonfiskal sehingga perlu dibuat terobosan-terobosan melalui berbagai insentif yang menarik.
"Perumusan hal tersebut dapat melibatkan para pelaku usaha dalam penyusunannya agar lebih tepat sasaran," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News