Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Para investor pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) meminta insentif tax holiday kepada pemerintah. Mereka merasa perlu mendapat insentif ditengah larangan ekspor, sehingga tidak ada pemasukan untuk mengembangkan proyek smelter.
Namun, keinginan tersebut nampaknya terganjal Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK 011/2011 tentang Tax Holiday. Dalam PMK disebutkan, proyek yang mendapat insentif adalah proyek dengan investasi minimal US$ 80 juta.
"Selain itu harus merupakan industri pionir, industri pertahanan dan lain-lain," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik kepada KONTAN, Rabu (19/8).
Harusnya, kata Ladjiman, tidak perlu dibatasi investasi minimal US$ 80 juta agar mendapat tax holiday. Terlebih saat ini kondisi ekonomi global sedang lesu, infrastruktur terbatas serta pembebasan lahan atau tata ruang juga belum jelas.
Menurutnya, tidak semua smelter harus dibangun langsung dengan skala besar. Skala smelter disesuaikan dengan kondisi pasar global dan jenis komoditi yang dihasilkan. "Misalnya untuk nikel, kami lebih baik skala kecil dulu dan produk nikel pig iron (NPI) dengan nikel kadarnya minimal 10% karena pasar di China sangat besar," jelasnya.
Selain itu, menurutnya, sulit mendapatkan pinjaman bank dalam jumlah besar karena perbankan belum familiar dengan smelter. Apalagi untuk smelter aluminium ingot (batangan) yang membutuhkan biaya sangat besar, sekitar US$ 1.600- US$ 2.000 per ton.
Menurutnya, perusahaan yang layak mendapatkan tax holiday adalah perusahaan yang membangun smelter di luar Pulau Jawa. Sebab, penggunaan komponen lokalnya sangat dominan, terutama dalam permesinan.
"Kami mengharapkan bank lokal mau membantu pengusaha, khususnya anggota Apemindo supaya kita berdaulat terhadap sumber daya mineral," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News