Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus menjadi ancaman bagi harga jual petani daerah. Usulan ini sebelumnya disampaikan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengatakan, hasil studi tersebut dijadikan dasar tengkulak menakut-nakuti petani.
“Para tengkulak sekarang secara eksesif menakut-nakuti petani agar bersedia melepas panen tembakaunya dengan harga rendah. Alasannya, industri hasil tembakau (IHT) tahun ini akan sedikit menyerap tembakau milik petani, karena harga rokok akan dinaikkan. Kondisi ini sangat meresahkan petani tembakau, khususnya di Jawa Timur,” kata Ketua Umum APTI Soeseno, Minggu (21/8) di Surabaya, dalam rilisnya pada KONTAN.
Soeseno mengatakan, para petani mengeluh, harga tembakau jenis Perancak 95 ditawar tengkulak Rp 18.000 per kilogram, sementara di Sumenep ditawar Rp 19.500 per kilogram. Padahal rata-rata harga tembakau Perancak 95 mencapai Rp 40.000 per kilogram.
“Pernah juga di tahun 2010 harga tembakau jenis ini mencapai Rp 60.000 per kilogram,” ujar Soeseno.
Soeseno meminta agar pemerintah segera mengambil tindakan tegas kepada penyebar informasi meresahkan ini, karena telah menimbulkan dampak langsung pada kelangsungan hidup petani tembakau di daerah.
Tolak cukai eksesif
Di samping itu, APTI juga menentang secara tegas usulan kenaikan cukai eksesif yang bertujuan untuk menekan angka perokok aktif di Indonesia.
Dia bilang, kenaikan cukai tahun ini saja yang 11,5% telah menyebabkan volume industri hasil tambakau semester I turun 4,8%.
Menurut organisasi beranggotakan 2 juta buruh dan petani tembakau ini, kenaikan cukai eksesif akan menyebabkan perdagangan rokok ilegal merajalela. Kenaikan cukai akan dibarengi dengan menurunnya kemampuan daya beli masyarakat, maka konsumen akan menyiasati dengan mencari rokok yang lebih murah dan atau malah melinting sendiri.
“Hasil studi Universitas Gadjah Mada dan Direktorat Bea dan Cukai pada 2014 ditemukan bahwa perdagangan rokok ilegal mencapai 11,7% dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun,” kata Soeseno.
Kenaikan cukai yang tinggi berakibat pada menurunya daya serap bahan baku tembakau dan cengkeh. Permintaan tembakau oleh pabrik pada masa panen tahun ini juga turun 15% dibanding tahun kemarin.
Dalam catatan APTI, telah terjadi penutupan 1.200 pabrik rokok dalam lima tahun terakhir dan PHK sampai 102.500 pekerja. Ujungnya, pemerintah dirugikan juga karena penurunan penerimaan cukai.
Pada 2015, IHT membayarkan cukai, pajak daerah, dan PPN produk tembakau sebesar Rp 173,9 triliun atau setara 16,5% dari total penerimaan pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News