Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Tingkat kepatuhan penyampaian jaminan reklamasi dan pascatambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) masih rendah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, hanya sekitar 40% yang baru menyampaikan jaminan reklamasi tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, pihaknya akan bertindak tegas terkait kewajiban perusahaan soal dana jaminan reklamasi.
Menurut dia, perusahaan yang belum menyerahkan jaminan tersebut akan mendapat status default. "Apabila kami sudah memberikan waktu, tapi belum juga dipenuhi, maka akan diterminasi," katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR pada Rabu (29/3).
Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang menyebutkan, perusahaan yang memegang IUP Operasi Produksi wajib menyerahkan rencana reklamasi sesuai dengan jangka waktu lima tahun. Sedang dana reklamasi ditempatkan di escrow account, tanpa batasan lima tahun ke depan.
Namun belakangan, Kementerian ESDM menerbitkan Permen ESDM No 7/2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Di sana disebutkan pemegang IUP Operasi Produksi harus menyetor dana jaminan reklamasi selama lima tahun sekaligus.
Berbeda halnya dengan IUP Operasi Produksi, kata Bambang, tingkat kepatuhan penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan kontrak karya pada tahun 2016 sudah tinggi.
Di jaminan reklamasi, sebesar 84% PKP2B sudah melakukan penempatan. Sementara kontrak karya sebesar 88%. Untuk jaminan pascatambang, sebesar 68% PKP2B sudah melakukan penempatan, sementara kontrak karya sebanyak 83%.
Sementara Hendra Sinadia Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menyebut, aturan yang terbit pada tahun 2014 lalu itu memberatkan pengusaha. "Apalagi saat aturan itu terbit harga komoditas sedang di titik terendah," ungkap dia kepada KONTAN.
Hendra menyatakan dana jaminan reklamasi lima tahun sekaligus tidak relevan, karena setiap tahun perusahaan melakukan revisi penambangan atas dasar harga komoditas saat itu. "Rencana reklamasi mungkin mengalami perubahan, mengikuti rencana penambangan yang direvisi akibat harga komoditas jatuh. Saya kira itu salah satu yang memberatkan," ungkap dia.
Penempatan dana jaminan sekaligus lima tahun juga dianggap mengganggu kondisi keuangan serta arus kas (cash flow) perusahaan. Untuk itu sebaiknya kembali ke PP No 7/2010.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso bilang, dana jaminan reklamasi menyasar pemerintah sebagai keseriusan perusahaan dalam melakukan reklamasi dan pascatambang. Yang jadi permasalahan ini, apakah yang belum memberikan dana jaminan perusahaannya masih ada? "Pemerintah harus kejar perusahaan ini. Juga harus tegas mengikuti aturan yang berlaku," imbuh dia.
Status IUP
Kementerian ESDM menyatakan, hingga 27 Maret 2017, dari total 8.620 IUP yang tercatat, hanya 3.583 perusahaan yang memiliki surat keputusan (SK) masih aktif. Sedangkan selebihnya sebanyak 5.037 IUP, dari sisi SK sudah habis. SK tersebut dihitung sampai Desember 2016, berdasarkan rekapitulasi data yang masuk ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Dari 3.583 IUP dengan SK aktif tersebut, sebanyak 2.977 IUP telah berstatus clear and clean (CnC). Sisanya sebanyak 606 IUP non-CnC. Wakil Ketua Komisi VII Satya Widya Yudha mengingatkan, Kementerian ESDM membuat mekanisme pengawasan terhadap IUP yang telah dibatalkan, dicabut, atau izin berakhir tersebut. "Jangan sampai IUP sudah berakhir, tapi ada kegiatan penambangan ilegal di sana," ujarnya.
Direktur Ciruss Budi Santoso menilai, pemerintah harus berhati-hati ketika memutuskan mencabut IUP bermasalah. "Kalau mencabut IUP yang belum CnC bisa berpotensi digugat, karena status clear and clean itu tidak ada dasar hukumnya," tutur Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News