kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jaga pasar ekspor, asosiasi batubara Indonesia dan China jalin kerjasama


Jumat, 24 Mei 2019 / 17:01 WIB
Jaga pasar ekspor, asosiasi batubara Indonesia dan China jalin kerjasama


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meneken nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan asosiasi batubara China, yakni China National Coal Association (CNCA). Dengan MoU tersebut, APBI dan CNCA sepakat bekerjasama dalam menjaga pasar batubara kedua negara serta pengembangan nilai tambah dan teknologi yang lebih efisien dalam pemanfatan komoditas emas hitam tersebut.

Ketua Umum APBI Pandu P. Sjahrir menyebut, MoU tersebut berisi tiga poin pokok. Pertama, mempererat relasi secara resmi. Tujuannya, bisa saling bertukar informasi sehingga kedua asosiasi ini pun bisa saling menampung masukan yang nantinya akan diteruskan ke pembuat kebijakan di negara masing-masing.

"Jadi biar bisa kasih input, berbagai informasi juga masukan soal kebijakan, ini penting," kata Pandu dalam penendanganan MoU yang digelar di Kantor APBI, Jum'at (24/5).

Pandu bilang, kebijakan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap pasar, yang nantinya berdampak pada harga batubara. Sebagai contoh, pada akhir 2018 hingga permulaan 2019, harga batubara kalori rendah Indonesia terus terkoreksi yang juga tercermin dari terus merosotnya Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia.

Kondisi itu terjadi karena China sempat membatasi impor, sehingga ekspor batubara Indonesia ke Negeri Panda itu menjadi tersendat. Kebijakan terbaru, kata Pandu, adalah kebijakan dari pemerintah Indonesia yang mewajibkan penggunaan asuransi dan angkutan laut nasional dalam ekspor batubara.

Sebagai pembeli terbesar batubara thermal asal Indonesia, Pandu menilai, masukan dari pelaku usaha batubara China akan sangat membantu implementasi dari kebijakan ini. "Kami coba bantu pemerintah untuk berbicara dengan mereka, saat ini masih pembicaraan. Mereka mau, tapi harus sesuai standar. Kita perlu feedback untuk better policy," ungkap Pandu.

Poin  kedua dari MoU ini ialah terkait dengan prioritas ekspor batubara dari Indonesia. Hal ini menyangkut kepastian akses pasar dan juga harga.

Pandu bilang, meski harga didasarkan pada skema business to business atas harga pasar, namun pihaknya akan menjajaki kemungkinan untuk menggunakan referensi harga berdasarkan HBA Indonesia. "Mereka kan pengin suplai batubara stabil, yang penting itu. Kami juga ingin jadi prioritas, akses pasarnya terbuka," tutur Pandu.

Di samping itu, ujar Pandu, APBI juga memberikan penjelasan bahwa Indonesia memiliki kebijakan untuk memprioritaskan batubara sebagai domestic market obligation (DMO). Pada tahun ini, besaran kewajiban DMO yang dipatok pemerintah masih sama seperti tahun sebelumnya, yakni 25% dari produksi.

Dengan target produksi batubara tahun ini yang lebih rendah daripada realisasi produksi batubara pada tahun lalu, Pandu menilai,  hal tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap ekspor batubara Indonesia ke China. "Kalau level (volume ekspor) sama, it's oke. Tapi yang penting kita punya prioritas, harga dan akses lebih mudah," tutur Pandu.

Sebagai informasi, produksi batubara Indonesia pada tahun lalu mencapai 557 juta ton. Sementara target produksi yang tertera pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2019 berada di angka 489,13 juta ton.

Pada tahun lalu, kata Pandu, ekspor batubara Indonesia ke China mencapai sekitar 125 juta ton. "Itu sekitar 25% pangsa ekspor batubara Indonesia," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Vice President CNCA Xie Hongxu menyambut baik kerjasama ini. Ia mengamini bahwa posisi Indonesia sangat penting dalam pasar batubara China.

Sebab, meski China menjadi produsen batubara terbesar di dunia, namun di saat yang bersamaan, negeri tirai bambu ini juga menjadi salah satu importir terbesar. Pada tahun lalu, China memproduksi sekitar tiga miliar ton batubara.

Sementara, impor batubara dari Indonesia memegang porsi 45% dari total impor emas hitam di China. "Jadi kita harapkan (MoU) ini bisa mempererat hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain," katanya.

Adapun, poin ketiga dari MoU ini terkait dengan kerjasama pengembangan nilai tambah dan teknologi yang lebih efisien dalam pemanfaatan energi batubara. Saat ini, kata Pandu, China menjadi pengguna energi batubara terbesar dalam pembangkit listrik.

Namun, China bisa mengoptimalkan nilai tambah batubara, serta memiliki teknologi yang maju dalam penggunaan energi dari batubara. Untuk itu, tutur Pandu, kerjasama ini diharapkan juga bisa menarik investasi dari China dalam pengembangan nilai tambah dan pemanfaatan teknologi dari energi batubara.

"Kita juga kan hampir 60% pembangkit (listrik) dari batubara. Jadi kita ingin lebih efisien dan ramah lingkungan. Mereka yang paling maju, jadi bagaimana kita bisa kerjasama, investasi dan teknologi efisiensi," imbuh Pandu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×