kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jahe lokal sudah kembali


Senin, 31 Oktober 2011 / 06:13 WIB
Jahe lokal sudah kembali
ILUSTRASI. Corona di Korea Selatan0. REUTERS/Kim Hong-Ji


Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Edy Can

JAKARTA. Jahe produksi Indonesia kini sudah kembali mengisi pasar lokal. Selama dua bulan terakhir ini, jahe lokal tenggelam oleh jahe impor yang membanjiri pasar, terutama jahe asal China.

Petugas Pusat Data dan Informasi Pasar Induk Sayuran dan Buah Kramat Jati Suminto mengatakan, saat ini 70% pasokan berasal dari lokal, sementara 30% produk impor. Padahal hingga sepekan yang lalu, 90% jahe di pasar berasal dari impor dan 10% berasal dari jahe lokal. Kala itu pasokan jahe lokal memang menurun.

Suminto menjelaskan, petani sedikit menahan barang untuk mendapatkan harga yang bagus. Selain itu, produksi memang menurun akibat serangan hama. "Jahenya jadi kopong, cuma kulitnya saja. Penyakit ini sudah beberapa tahun terjadi, malahan di daerah saya lahan yang menanam jahe tinggal 20%," kata Mulyono, petani jahe di Karanganyar, akhir pekan lalu.

Tak ayal, jahe impor memenuhi pasar. Pada Agustus dan September lalu, kata Suminto, rata-rata sekitar 200 ton hingga 250 ton jahe impor masuk ke Pasar Kramat Jati setiap minggu. Banjir jahe impor membuat harganya anjlok hingga Rp 4.000 per kg.

Sebelumnya, harga jahe mencapai sekitar Rp 11.000 per kg. Tetapi harga jahe yang kian murah tersebut membuat para importir merugi. Maka, mereka memilih tidak lagi mengimpor lagi atau paling tidak, mereka tidak melepas jahe impor ke pasar. Sekarang, pasokan jahe impor ke Pasar Kramat Jati tinggal sekitar 50 ton untuk setiap minggunya.

Penurunan harga jahe impor tersebut, selain karena pasokan, rupanya banyak industri pengguna jahe lebih memilih jahe lokal. "Soalnya, meskipun secara fisik jahe impor lebih besar daripada jahe lokal, rasa jahe lokal lebih kuat dan unggul daripada jahe impor," kata Suminto, Jumat (28/10).

Kalangan industri membenarkan hal tersebut. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia Charles Saerang mengatakan, industri jamu lebih memilih jahe lokal untuk jamu. Menurutnya, jahe impor memiliki kandungan air terlalu tinggi dan aroma yang kurang kuat.

Namun Charles mengakui, jahe emprit untuk bahan baku industri jamu saat ini sulit diperoleh karena produksinya berkurang. Kalaupun ada, jahe itu diprioritaskan untuk ekspor. Akibatnya, pengusaha jamu mengisi kekurangan jahe emprit dengan jahe gajah produksi lokal.

Charles meminta pemerintah mengembangkan penelitian mengenai jahe supaya produksi tidak terus turun. "Kalau terus turun, saya khawatir harus ipenuhi dengan jahe impor. Ini berarti kualitas jamu akan menurun karena kandungannya tidak sebaik jahe emprit," kata Charles, Minggu (30/10).

Impor naik 8 kali lipat

Di tingkat pedagang di pasar Kramat Jati, harga jahe lokal berkualitas bagus seperti dari Aceh dan Sumatera kini mencapai Rp 11.000-Rp 13.000 per kg. Sedangkan jahe kualitas di bawahnya, yakni asal Jawa Barat dan Jawa Tengah, dibanderol Rp 8.000-Rp 10.000 per kg.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, harga jahe impor di tingkat konsumen saat ini antara Rp 6.000-Rp 7.000 per kg. Sementara untuk jahe lokal rata-rata harganya sudah di atas Rp 8.000 per kg.

Ngadiran mengungkapkan, baru tahun ini jahe impor membanjiri pasar ritel, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Menurut dia, jahe impor sebenarnya digunakan untuk industri makanan dan minuman seperti permen, minuman hangat, dan jamu. "Karena impornya tidak tepat, mungkin sedikit terlambat karena ada gangguan di perjalanan, kontrak banyak dibatalkan sehingga masuk ke pasar," tuturnya.

Sebab daripada merugi, ada segelintir importir yang memilih untuk memasukkan ke pasar tradisional. Ia pun mengeluhkan impor pangan segar yang semakin merajalela karena pemerintah kurang mendukung petani untuk berproduksi.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim mengatakan, sebenarnya pada tahun 2009 dan 2010, ekspor jahe Indonesia lebih tinggi daripada impornya. Tapi, silakan kaget melihat data impor jahe Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini. Dibandingkan volume impor jahe pada Januari-Agustus 2010 yang sebesar 637 ton, di periode yang sama tahun ini jumlahnya melonjak 835,6% menjadi 5.960 ton. Sedangkan dari sisi nilai impor, lonjakannya mencapai 680,38%, dari US$ 622.770 pada Januari-Agustus 2010 menjadi US$ 4,85 juta pada periode yang sama tahun ini.

Permasalahannya adalah impor produk pangan segar asal tumbuhan yang masih longgar. Pembatasan yang cukup ketat baru dilakukan untuk impor benih semata.

Namun Ibrahim menegaskan, ke depan impor pangan segar asal tumbuhan akan diperketat. “Sudah ada rapat koordinasi di Menko Perekonomian untuk mengatur impor produk segar asal tumbuhan," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×