Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gas alam cair skala kecil (ssLNG) kembali diusulkan sebagai program andalan demi membangun pasar gas baru dan meningkatkan penggunaannya di sektor kelistrikan untuk mengganti pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Namun demikian, sisi keekonomian rencana konversi tersebut akan penuh rintangan.
Analis energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, pemerintah telah menugaskan Pertamina, melalui Perusahaan Gas Negara (PGN), untuk mensuplai gas ke 52 pembangkit listrik PLN dengan harga lebih rendah dibanding harga ekuivalen BBM.
Sebagai informasi, ssLNG merupakan rantai pasok LNG dalam skala lebih kecil, yang digunakan untuk mentransportasikan kurang dari 0,5 juta metrik ton LNG per tahun.
“PGN memperkirakan investasi US$ 1,5 miliar hingga US$ 2,5 miliar diperlukan untuk mensuplai 167 miliar British Thermal Unit per Day (BBTUD) gas ke 52 pembangkit, dengan separuh dari pembangkit itu menggunakan kurang dari 2 BBTUD,” ujar Adhiguna dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Kamis (27/8).
Baca Juga: PGN salurkan gas perdana ke Kilang Balongan
Rencana tersebut telah disusun selama hampir satu dekade. PLN yang sebelumnya mengambil inisiatif terdepan dalam pembentukan rantai pasok ssLNG kini bergeser ke sisi penerima, memindahkan hampir seluruh risiko proyek kepada PGN.
Rencana konversi gas itu akan menguntungkan PLN bila memang benar gas dapat diterima dengan harga murah pada pembangkit mereka.
Namun, menurut Putra, yang masih belum jelas adalah bagaimana PGN, sebuah anak perusahaan BUMN dengan kepemilikan publik yang besar, dapat bertahan dalam rencana tersebut. Biaya rantai pasok LNG dikenal cukup mahal, terlebih pada skala kecil.
"Sebagai perusahaan distributor gas utama di Indonesia, PGN sudah mengalami tekanan berat dari imbas Covid-19 dan kebijakan harga gas. Dengan margin distribusi yang diproyeksikan menyusut dari US$ 2,2 - US$ 2,5 menjadi US$ 1,80- US$ 2,00 per juta BTU (MMBTU), tanda peringatan sudah berbunyi cukup kencang," kata Putra.